MAKASSAR, EDELWEISNEWS.COM – Center for Peace, Conflict & Democracy (CPCD) Universitas Hasanuddin atau Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Perdamaian Konflik dan Demokrasi Unhas bekerjasama dengan Unhas SDGs Centre, dan Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menyelenggarakan Peace & Democracy Colloquium Seri 8 pada pukul 14.00 Wita, Selasa (25 Januari 2022).
Tema webinarnya adalah “Meredupnya Demokrasi Indonesia: Demokrasi tanpa Demos”.
Pada Webinar Peace & Democracy Colloquium 8 hadir 3 narasumber, yakni Wijayanto,PhD (Direktur Center for Media & Democracy, LP3ES), Dr.Sri Budi Eko Wardhani, S.IP, M.Si (Dosen Dep. Ilmu Politik Universitas Indonesia) dan Andi Ali Armunanto, S.IP, MA (Peneliti CPCD/Dosen Dep. Ilmu Politik Universitas Hasanuddin). Colloqiumnya dibuka dan dimoderatori oleh Andi Ahmad Yani, M.Si, MPA, M.Sc.
Materi pertama dibawa oleh Wijayanto, PhD. Ia adalah editor buku Demokrasi Tanpa Demos dan membawa materi dengan judul yang sama. Ia memaparkan tentang bagaimana demokrasi di Indonesia lagi mengalami kemunduran atau recession dan bagaimana dampaknya kepada masyarakat Indonesia.
‘Demokrasi tanpa Demos’ dimaksud pemerintahan yang tidak cukup melibatkan masyarakat, atau bahkan partisipasi masyarakat tidak ada sama sekali. Sistem demokrasi Indonesia dikuasai oleh para oligarki dengan bersekutu pengusaha dan politisi untuk melemahkan institusi demokrasi,” tuturnya.
Menurut Wijayanto, fenomena ini bisa dilihat dalam beberapa tahun terakhir, dimana aksi protes mahasiswa dan masyarakat tidak lagi didengar. Contohnya pada perubahan Undang-Undang KPK dan penyusunan Undang-Undang Cipta Karya.
Pada zaman sekarang, demokrasi dapat mengalami kemunduran bukan hanya dari suatu kudeta militer seperti dulu. Sekarang kemunduran demokrasi juga dapat terjadi ketika pejabat terpilih berusaha melemahkan institutional checks (cek kekuasaan), oposisi politik, media yang bebas, serta bentuk protes dan perlawanan masyarakat yang lain.
“Fenomena ini disebut Global Democratic Recession oleh Larry Diamond. Kemunduran demokrasi juga diberi istilah lain seperti ‘defective democracy’, ‘democratic setbacks’, ‘authoritarian turn’, ‘illiberal democracy’, ‘neo otoritarianisme’, ‘authoritarian innovations’, dan sebagainya,” jelasnya.
Mungkin banyak menganggap ini hanyalah pandangan orang barat diaplikasikan di Indonesia. Namun, Wijayanto menegaskan bahwa fenomena ini nyata dan terbukti sebagaimana diuraikan mendalam oleh 100 ilmuwan sosial politik baik Indonesia, maupun luar negeri untuk menulis tentang demokrasi di Indonesia dalam buku yang diterbitkan LP3ES Agustus lalu.
Lebih lanjut, Wijayanto berpendapat bahwa untuk mempertahankan demokrasi, negara harus melalukan intervensi pada oligarki dengan dukungan masyarakat sipil. Posisi kelompok masyarakat sipil juga terancam dengan adanya cyber troops (tentara cyber) yang mempengaruhi opini masyarakat lewat sosial media dan menyerang para kelompok kritis. Hal ini berdasarkan hasil survei Indikator dan LP3ES yang menunjukkan tren ketakutan masyarakat untuk menyatakan pendapat secara terbuka, khususnya mengeritik pemerintah.
Narasumber berikutnya adalah Dr. Sri Budi Eko Wardhani, S.IP, M.Si memaparkan materinya yang berjudul “Meredupnya Demokrasi di Indonesia Transaksional dan Rekayasa dalam Representasi Politik”. Ia menjelaskan mengenai demokrasi di Indonesia yang prosuder semata dan cenderung menunjukkan kualitas demokrasi ideal.
Sri Budi Eko Wardhani membuka dengan menjelaskan trajektori demokratisasi di Indonesia. Dari tahun 1998, demokrasi di Indonesia telah berubah melewati 4 fase. Diantara tahun 2009-2013, tedapat fase yang disebut ‘konsolidasi demokrasi’, ketika partai politik mulai berkolusi dengan elit ekonomi. Koalisi antara mereka kemudian menjadi lebih kuat daripada parlemen, sehingga mengakibatkan ketegangan negara dan masyarakat sipil. Koalisi itu dengan kartel yang ingin mengamankan sumber daya negara untuk mereka sendiri.
Menurut Sri Budi Eko Wardhani, demokrasi di Indonesia sekarang lagi berada di fase ‘Pasca konsolidasi demokrasi’, dimana oligarki dan kekerabatan antara partai politik dan politikus menjadi semakin kuat. Ini mengakibatkan perpecahan dalam masyarakat antara yang pro-demokrasi dan yang anti-demokrasi, kebijakan-kebijakan menjadi semakin menyimpang dari aspirasi masyarakat, bahkan terbitnya kebijakan yang diskriminatif serta akuntabilitias wakil rakyat yang memburuk dan ingin menyelesaikan masalah secara instan.
Kemudian Sri Budi Eko Wardhani juga memaparkan tentang representasi perempuan dan dampak dari kuota gender dalam oligarki dan dinasti politik, serta jalur untuk menjadi calon anggota legislatif. Menurutnya, perempuan dalam ranah politik justru mengalami kompetisi tidak sehat yaitu antara kader dan non kader, dimana faktor nepotisme dengan pimpinan partai politik lebih berpengaruh dibandingkan kontribusi kader perempuan pada partai.
Sebagai narasumber terakhir, Andi Ali Armunanto, S.IP, MA memberi tanggapan terhadap buku ‘Demokrasi Tanpa Demos’ serta tantangan yang dihadapi demokrasi di Indonesia sekarang.
Menurut Armunanto, meskipun ia tidak setuju bahwa demokrasi di Indonesia lagi mengalami kemunduran, buku ‘Demokrasi Tanpa Demos’ masih bagus, karena dapat menghasilkan debat mengenai cara membaik demokrasi di Indonesia.
Andi Ali Armunanto memaparkan bahwa demokrasi di Indonesia mungkin tidak mengalami kemunduran, tapi suatu perubahan skenario. Ia bilang bahwa buku itu dapat membuat kita berdiskusi dan bertanya. “Kita mau demokrasi di Indonesia menjadi seperti apa? Demokrasi jenis apa?’.
Berikutnya, Armunanto menjelaskan tentang patologi demokrasi, termasuk oligarki di Indonesia yang cenderung berusaha mengubah ‘Rules of the Game’ atau peraturan dalam pemerintahan demi mempertahankan kekuasaannya. Katanya demi menghindar bentuk demokrasi dimana terdapat banyak korupsi, kurangnya representasi rakyat seta populisme, mesti diterapkan yang disebut ‘demokrasi kewargaan’.
Dalam suatu negara demokrasi kewargaan, segala warga memiliki akses kepada proses demokrasi yang setara, partisipasi masyrakat dalam pemerintahan lebih luas, dan lebih dipentingkan keadilan dalam pemerintahannya.
Setelah materi dari ketiga narasumbernya, dibuka sesi tanya jawab. Salah satu penanya dari Jakarta meminta narasumber untuk lebih menjelaskan faktor positif demokrasi untuk lebih membangun kepercayaan anak muda pada partai politik dan sistem demokrasi.
Penanya lain dari Poso meminta tanggapan terkait posisi masyarakat sipil dalam demokrasi yang semakin redup. Wijayanto menanggapi, bahwa sebenarnya para ilmuan selalu mendukung demokrasi, namun demikian perlu selalu melakukan kontrol dengan melakukan kritik untuk menjaga kualitas demokrasi.
Sri Budi dan Andi Ali menimpali penting selalu membuka ruang-ruang diskusi untuk menguatkan nilai-nilai demokrasi. Masyarakat sipil diharapkan ikut terlibat baik sebagai mitra kerja atau mitra kontrol dengan pemerintah dan legislatif, untuk senantiasa menjaga ritme dinamika demokrasi yang lebih positif.
Webinar Peace & Democracy Colloquium 8 diikuti sekitar 40 orang dan berakhir pada pukul 16:00 Wita. Peserta diskusi berasal dari berbagai wilayah nusantara, antara lain, Jakarta, Aceh, Poso, Makassar, dan Sumatera yang merupakan aktivis demokrasi, NGO, mahasiswa dan komisioner KPU dan Bawaslu.
Pada sesi penutup, Andi Ahmad Yani menunjukkan data survey berdasarkan Asia Barometer Survei tahun 2006-2016 yang menunjukkan tren kepercayaan masyarakat Indonesia pada demokrasi mengalami fluktuasi. Meskipun penerapan sistem demokrasi tidak mungkin sempurna, namun kita berharap semua warga dan institusi negara saling bekerjasama untuk senantiasa menjaga nilai dan kualitas demokrasi untuk menjamin keberlangsungan bangsa dan peradaban bersama.
Penulis : Rifqy Tenribali Eshanasir, Junior Researcher di CPCD Unhas