Oleh : Albert Aries
PEMBAHASAN revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dalam rapat paripurna DPR pekan lalu, atas usulan badan legislasi (baleg) telah menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.
Pegiat antikorupsi pun menantikan bagaimana sikap Presiden Jokowi atas draft RUU KPK, diantaranya KPK sebagai Lembaga Pemerintah, keberadaan Dewan Pengawas, penyadapan harus seizin Dewan Pengawas, Penyelidik diangkat dari Polri, Penyidik diangkat dari Polri, Kejagung dan PPNS, serta kewenangan untuk penghentian penyidikan (SP3).
Sekedar menyegarkan ingatan kita, perjalanan KPK yang dibentuk melalui UU Nomor 30 Tahun 2002 selama 17 tahun ini sempat mengalami kekosongan pimpinan KPK sehingga menjadi kurang dari tiga orang.
Pada waktu itu, Presiden Jokowi menggunakan hak noodverordeningrecht karena adanya kegentingan yang memaksa tersebut dengan menerbitkan Perppu No 1 Tahun 2015 untuk mengangkat pimpinan sementara KPK, yang kemudian disahkan DPR menjadi UU No 10 Tahun 2015 tentang perubahan atas UU KPK.
Eksistensi KPK sebagai lembaga negara yang bersifat independen dan “dirancang” untuk bebas dari pengaruh kekuasaan manapun selama ini memang menjadi garda terdepan dalam menjalankan tugas koordinasi, supervisi, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pencegahan, monitoring pemberantasan korupsi dan penyelenggaraan pemerintahan negara, sehingga dari berbagai survei yang dilakukan, KPK masih menjadi salah satu Lembaga paling dipercaya publik. Lalu apakah dengan adanya usulan revisi UU KPK tersebut dapat menguatkan, atau sebaliknya akan melemahkan KPK?
Extraordinary Crime
Terdapat perdebatan hukum yang menarik, yaitu apakah korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime), atau hanya kejahatan biasa.
Hal ini mengingat tindak pidana korupsi sudah terjadi secara meluas, bukan hanya merugikan keuangan negara, melainkan juga melanggar hak sosial dan ekonomi masyarakat.
Merupakan suatu fakta umum (notoir feiten), perilaku dan tindak pidana korupsi telah ada sejak dahulu kala, bahkan dalam KUHP peninggalan kolonial Belanda yang telah merumuskan beberapa delik korupsi, diantaranya dalam Pasal 209-210, 415- 420, 423, 425, dan 435 KUHP.
Perdebatan di atas ternyata belum terjawab dengan lahirnya UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor pada era reformasi.
Bahkan setelah dilakukannya perubahan melalui UU No. 20 Tahun 2001, dalam bagian pertimbangan dan penjelasan hanya disebutkan bahwa korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang “cara” pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Istilah tindak pidana korupsi sebagai “extraordinary crime” justru baru ada di UU KPK, dan kembali disebutkan lagi dalam revisi RUU KPK ini.
Dari beberapa usulan revisi UU KPK, penulis mencatat setidaknya terdapat 3 usulan revisi UU KPK yang memenuhi akal sehat dan rasa keadilan. Pertama mengenai keberadaan Dewan Pengawas KPK yang berdasarkan Pasal 37D diangkat Presiden.
Keberadaan Dewan Pengawas ini merupakan “jalan tengah” untuk mengawasi tugas dan kekuasaan KPK yang begitu luar biasa, semata-mata untuk menghindari adanya penyalahgunaan kekuasaan, sebagaimana adagium dari Lord Acton, yang menyatakan, “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.”
Menurut hemat penulis, pertanggungjawaban Dewan Pengawas tersebut idealnya langsung kepada Presiden yang mengangkatnya, guna menghindari potensi konflik kepentingan dan kegaduhan yang tidak perlu.
Kedua, mengenai aturan penyadapan harus dengan izin dewan pengawas, ternyata dalam keadaan mendesak, menurut RUU KPK masih mungkin dilakukan penyadapan sebelum mendapatkan izin.
Secara hukum, penyadapan merupakan upaya paksa (dwang middelen) yang berpotensi melanggar HAM, sebagaimana halnya penangkapan, penahanan dan penyitaan.
Penyadapan yang dilakukan secara sah (Lawful Interception) oleh KPK selama ini merupakan kunci dapat dilakukannya OTT terhadap pemberi dan penerima suap.
Namun, penyadapan yang dilakukan terus-menerus, apalagi di luar konteks penyelidikan/penyidikan tanpa adanya bukti permulaan merupakan pelanggaran privasi, sehingga perlu diawasi, termasuk pengaturan sanksi pidana bagi siapapun yang membocorkannya.
- Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti