
Oleh : Sunarto Firdaus (Mahasiswa UIN Alauddin Makassar, peserta Workshop Menulis Kreatif Seni Rupa)
Lelaki itu sibuk dengan ponselnya. Ia duduk di depan gedung berlantai 3. Ukurannya tak terlalu besar, tapi desain industrial minimalisnya tampak menarik.
Letak gedung itu kira-kira 100 meter dari Masjid Sultan Alauddin di Jalan Racing Center, Makassar.

Udara sore itu cukup bersahaja, pada bulan Juni di musim kemarau.
Ali, lelaki itu, punya tampilan yang agak urakan dengan rambut gondrong yang diikat ke belakang. Di pundaknya menggantung ransel, yang tak pernah jauh darinya.
Ali merupakan salah seorang peserta Workshop Menarasikan Seni Rupa Melalui Penulisan Kreatif, yang diadakan oleh Panitia Pameran Revolusi Esok Pagi (REP) #6 kerja sama dengan SATUPENA Sulawesi Selatan.

Workshop menulis kreatif ini diadakan di Kampus Institut Kesenian Makassar (IKM), Minggu (15 Juni 2025).
Ali banyak menghabiskan waktunya di lingkungan kesenian. Dia tergabung sebagai anggota di UKM SB eSA.
Pada ruangan berukuran 5 x 10 tersebut, Ali dan peserta lainnya mengikuti pembelajaran. Selama kurang lebih 240 menit kelas menulis kreatif itu dilangsungkan.
Rusdin Tompo, sosok pria bertubuh tegak dengan rambut yang mulai memutih namun tetap terlihat rapi, mulai berbicara. Siang itu ia mengenakan baju kaos warna hijau bergambar Patonro merah bertiang lonjong dengan tulisan “Satupena Sulsel”.
Jam tangan yang ia kenakan di tangan kirinya membuatnya tampak lebih berkharisma.
Dengan gaya bahasa yang khas, Rusdin Tompo mengajak peserta yang hadir untuk merefleksikan, “untuk apa sih saya menulis” dan “menanyakan tujuan dari menulis”.
Adzan Magrib berkumandang, menandai beralihnya siang menuju malam. Untuk sementara waktu kelas dihentikan sesaat sampai pukul 19.00 untuk sholat dan lain-lain.
Ruangan tampak lengang saat orang-orang beranjak pergi satu persatu menuruni anak tangga. Beberapa orang ada yang melangkah menuju masjid dan ada pula yang hanya sekadar melepas penat dengan sebatang rokok di depan gedung IKM.
Ali tampak gelisah. Tasnya kembali ia kenakan. Dengan sesekali mengembuskan asap rokok yang tak beraturan ia meminta diri untuk balik duluan.
“Motor kupinjam ini. Nanti nda enak sama yang punya hehehe,” sambil menyalami orang-orang yang sedang berdiri di pelataran gedung IKM.
Hujan turun perlahan di pelataran gedung. Hujan di bulan Juni, kata Pak Sapardi Jokodamono, adalah hujan yang tabah.
Peserta yang hadir pada workshop tersebut memiliki latar belakang kampus yang berbeda-beda. Ada yang dari Universitas Hasanuddin. Ada yang dari Politeknik Kesehatan dan adapula dari kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin.
Ada dua pembicara dalam workshop ini. Pak Maysir Yulanwar sebagai pembicara pertama. Dengan kupluk sebagai ciri khasnya. Namun kupluk yang ia kenakan berwarna hitam, berbeda dengan kupluk pada poster kegiatan.
Katanya ia berasal dari Jeneponto, sebuah kota yang terkenal dengan kudanya. Terletak di sebelah Selatan Kota Makassar.
Mula-mula workshop ini dihantar oleh Kak Fadly selaku ketua panitia dan dilanjutkan oleh Pak Maysir Yulanwar.
Pemateri menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti. Terlebih lagi ia menggunakan diagram materi agar lebih mudah dimengerti.
“Hard news dan soft news merupakan sebuah berita yang dapat kita kemas dalam cara penulisan straight news,” ujar Pak Maysir.
“Berbeda halnya dengan penulisan kreatif, yang lebih lugas. Dalam jurnalisme juga kita kenal jurnalisme sastrawi, yang berusaha untuk menghidupkan peristiwa,” sambungnya.
Pukul 19.00 waktu istirahat telah usai. Ruangan masih lengang. Angin dari AC bertiup lembut dan bertambah dingin. Bunyi derik pintu saat orang memasuki ruangan cukup mengilukan membuat kening berkerut.
“Semua anggota tubuh kita adalah sumber ide,” ujar Pak Rusdin Tompo.
Ia lantas berdiri di tengah-tengah ruangan sambari memperagakan bahwa dari mata kita dapat menemukan ide, dari kaki kita bisa menemukan ide, dari telinga sekalipun kita dapat menemukan ide.
“Mind map atau peta pikiran adalah salah satu cara dalam membuat kerangka penulisan,” sambungnya.
Dengan antusias Pak Rusdin Tompo mengangkat lukisan yang sedari tadi tergeletak di pojok ruangan. Dia lalu meminta setiap peserta untuk memberikan tanggapan terkait hal menarik apa yang ingin dituliskan.
Peserta dalam ruangan memberi pandangan yang berbeda pada karya yang sama. “Inilah sudut pandang dalam melihat karya. Begitu juga dengan menulis. Ada sudut pandang,” paparnya.
Di akhir pertemuan setiap peserta diberi waktu selama beberapa menit untuk membuat sebuah tulisan serta membacakannya.
Mula-mula salah seorang peserta ditunjuk untuk membacakan tulisannya. Tawa spontan terdengar, serta tepuk tangan mengiringi saat tulisan usai dibacakan.
Semua peserta mempunyai giliran yang sama untuk membacakan karyanya.
Workshop menulis kreatif seni rupa ini diakhiri dengan sesi foto bersama dan bertukar tawa dalam balutan canda.
Sayangnya, Ali tak mengikuti workshop tersebut sampai selesai. (*)