Oleh : Akir Muhammad
Kedekatan anak dan orang tua merupakan hubungan emosional yang telah terjalin sejak dini. Hingga tumbuh dewasa, rasa itu akan selalu ada, bahkan meski amarah diantara mereka membara.
Setiap orang tua ingin anaknya menjadi manusia yang mampu menjalani
perannya dengan baik, hingga pada pencapaian yang akan mereka katakan sebagai sebuah keberhasilan.
Tapi bukan jalan yang mudah untuk meraih keberhasilan tersebut. Akan selalu ada
tantangan yang tanpa henti-henti mendera sebagai cara Tuhan untuk menguji
seberapa tangguh kita dalam menghadapi deretan masalah yang menghinggapi diri. Akan tetapi, terlepas dari semua itu, yang kita perlukan adalah cara menyikapi hidup dengan bijak.
Yang namanya hidup akan selalu ada hal-hal sulit yang kita hadapi. Sama halnya
ketika orang tua melepas anaknya demi sebuah mimpi, harapan dan cita-citanya. Beliau akan mengorbankan banyak hal, entah itu tenaga, materi ataupun waktu. Tapi tenaga dan materi bisa saja terganti, namun tidak dengan waktu.
Dari awal selalu dekat, hingga harus melepas pada jarak yang jauh. Yang awalnya selalu bersama, harus menerima kenyataan jauh dengan sang anak hingga masa yang tidak bisa kita tentukan. Orang tua melepaskan anaknya merantau, melepaskan anaknya mencari jati diri sendiri lalu memberi
warna sendiri dalam hidupnya. Kita dituntut membuka mata dan memandang dunia secara bijak. Kita diberi ruang untuk membuka dan membentuk pola pikir secara luas.
Dan setelah jarak yang tercipta serta waktu terus berputar, ada ruang rindu yang tercipta. Rindu kampung halaman yang hijau dan tenang. Rindu dengan suasana rumah yang selalu menenangkan hati. Rindu suara
bapak yang tiba-tiba terdengar lantang ketika tertawa, tangis adik sekadar bermanja-manja, apalagi suara ibu yang selalu ada untuk anak-
anaknya, kasih sayangnya yang tak berujung serta perhatian ibu. Rindu masakan ibu.
Ah, rindu yang tidak ada habisnya. Apalagi bulan Ramadan seperti ini. Ada rindu yang bertumpuk, ada rindu yang mengaliri denyut nadi ini.
Ah, rindu pulang.