Oleh: Rusdin Tompo (penulis dan pegiat literasi)
Seorang perupa dalam proses pencarian jati dirinya akan mengalami turning point, yang membuatnya berubah arah atau memilih aliran seni rupa tertentu atas dasar kesadaran sendiri. Sebuah pilihan yang tidak melulu terkait dengan alasan estetika, tapi atas pertimbangan segmentation dan positioning, layaknya strategi marketing. Itu pula yang terjadi pada Ainun Zariya, mahasiwa Jurusan Pendidikan Seni Rupa FKIP Unismuh Makassar.
Perempuan kelahiran Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, 13 November 2000, yang hobi traveling dan fashion ini, memilih kriya rajut tas sebagai objek karyanya, karena menurutnya, tas selain fungsional dan fashionable, juga memiliki nilai jual yang lumayan. Apalagi, tas menjadi kebutuhan yang wajib untuk dipakai, terutama bagi perempuan. Tas dan perempuan bukan semata gaya, tapi juga gaul, dan gengsi, alias status sosial.
Bagi perempuan yang punya sapaan akrab Shella ini, ketertarikannya pada kriya rajut tak lepas dari lingkungan sosial dan kultural di mana dia dibesarkan. Dia tumbuh besar di daerah Papua, yang terkenal dengan rajutan khas, noken. Noken ini, di Papua, terbuat dari serat kayu atau batang anggrek. Fungsinya cukup beragam, antara lain untuk membawa kebutuhan sehari-hari, seperti hasil pertanian dan tangkapan ikan, untuk membawa barang saat berbelanja, sebagai alat tukar, bahkan untuk membawa hewan peliharaan yang kecil.
Sejak tahun 2008, Shella sudah menetap di Papua Barat, tepatnya di Kaimana. Mendengar nama kabupaten yang berada di selatan Provinsi Papua Barat ini, mengingatkan kita pada lagu “Senja di Kaimana” yang dipopulerkan penyanyi era 60-70an, Alfian Rusdi Harahap.
Shella mengenyan pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar hingga SMK disana, sebelum ke Makassar melanjutkan kuliah.
Selain alasan kedekatan emosional, dia juga punya alasan diferensiasi terhadap pameran studi khusus sebelumnya. Berdasarkan observasi yang dia lakukan, belum pernah ada yang mengambil seni kriya rajut, sehingga dia berinisiatif dan termotivasi untuk mengangkat seni kriya rajut sebagai karyanya. Dapat disimpulkan bahwa dia ingin berbeda dengan studi-studi khusus sebelumnya yang diadakan di kampusnya.
Shella menyampaikan, selama menghadiri beberapa studi khusus, dia melihat berbagai macam karya menarik dan unik dari para perupa. Semua itu memberikan lebih banyak pengalaman bagi dirinya. Untuk dia sendiri, studi khusus ini merupakan bagian dari proses pembelajaran kreativitasnya sebagai mahasiswa dalam bidang pendidikan seni rupa. Sebab, dia masih terbilang belum lama menekuni kriya rajut, tepatnya sejak 2023. Selain menonton konten YouTube yang menayangkan kriya rajut, dia juga mendapat pembimbingan dari seorang ibu yang biasa dipanggil dengan sebutan Mama Fiki.
Kriya rajut karya Shella bagai menggambarkan Indonesia yang multikultur. Rajutannya merepresentasikan tanah kelahirannya, Buton, tempatnya tumbuh dan besar di Papua, serta daerah di mana dia bermukim dan mengenyam pendidikan, Kota Makassar.
Menurutnya, keunikan karya-karyanya, terlihat pada bentuk, warna, dan motifnya. Karyanya dominan menggunakan warna hitam, tapi dia juga merambah warna-warna lain sebagai upaya eksplorasi dan keluar dari zona nyaman. Jenis tas yang dia buat berupa sling bag, tote bag, hand bag, dan wristlet. Bentuknya pun unik, ada yang seperti kelelawar, keranjang, dan persegi.
Dengan bahan dan alat relatif sederhana, terdiri dari benang rajut, hakpen (jarum rajut), penanda, gunting, dan korek, rata-rata waktu yang dia perlukan untuk menciptakan satu karya berbeda-beda. Untuk kriya rajut ukuran kecil, dia hanya butuh waktu 1 atau 2 hari pengerjaan saja. Sedangkan karya sedang dan besar, bisa memakan waktu 3 hari sampai 1 minggu pengerjaan. Itu pun tergantung dari mood-nya.
Proses kreatif Shella terpantik ketika dia melihat beberapa referensi gambar, baik berupa bentuk maupun warna, lalu dia menuangkannya lewat rajutan. Butuh kecermatan untuk mempelajari pola rajutan pada gambar yang menjadi referensinya tersebut. Preferensinya pada noken dalam karya kriyanya, patut diapresiasi.
Sejumlah rupa noken diaplikasikan Shella dalam karyanya, seperti pada tas rajut yang diberi judul “Satu Semburan”, “Cheerful”, “Makassar”, “Kue Lapis Pelangi”, “Senja Kaimana”, “Culture”, “Pesisir”, “Noken Kelelawar Wamena”, dan “Bird of Paradise 1” serta “Bird of Paradise 2”.
Sebagai perupa, dalam proses kreatifnya untuk menghasilkan karya, Shella biasa terkendala pada ketersediaan bahan yang dipunya. Artinya, ide dan keinginan untuk berkarya saja, rasa-rasanya tak cukup bagi seorang Shella. Bila jenis benang dan stok warna benangnya dia tidak punya, maka praktis dia tidak bisa berkarya. Itu menjadi tantangan yang dia alami selama menekuni kriya rajut ini. Tantangan berat lainnya, menurut pengakuannya, yakni bagaimana dia memadukan warna yang selaras dalam kriya rajutnya. Dia menyadari bahwa dirinya masih pemula, sehingga perlu terus berproses untuk melahirkan karya-karya terbaik. (*)