
Oleh : Dr. Sudirman Muhammadiyah, S,Pd,M.Si.
Tindak pidana korupsi di perguruan tinggi dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Sebut saja, lemahnya pengendalian internal, lemahnya sistem administrasi, adanya kekosongan pengawasan, lemahnya pengawasan publik dan sosial, serta kurangnya transparansi dalam tata kelola.
Satu atau kombinasi lebih dari faktor-faktor di atas kemudian akan memantik pelaku untuk melakukan kecurangan di kampus. Dalam pantauan ICW pada 2023, setidaknya ada 37 kasus dugaan korupsi di perguruan tinggi yang telah dan sedang diproses oleh penegak hukum dan pengawas internal perguruan tinggi. Nilai potensi kerugian negara mencapai Rp 218,804 miliar dan nilai suap mencapai sekitar Rp1,78 miliar.
Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi menurut U4
1). Patronase
Dalam U4 Issue 2019:10 berjudul “Corruption in universities: Paths to integrity in the higher education subsector”, patronase merupakan fenomena politik yang didasarkan pada hubungan sosial antara klien (warga sipil) dan patron (pejabat terpilih atau politikus). Klien akan menerima bantuan dan dukungan, biasanya dalam bentuk barang dan jasa publik, dari patron sebagai imbalan atas kesetiaan politik mereka. Contoh nyata bentuk korupsi patronase dalam perguruan tinggi adalah sponsor atau dukungan dana dari para politisi dan/atau tokoh agama sebagai sarana untuk menumbuhkan dan memperluas basis dukungan politik dan ideologi mereka di kalangan terpelajar negara.
Selain itu, praktik patronase ini juga memungkinkan universitas tersponsor untuk memperoleh akreditasi meski tidak memenuhi persyaratan minimum atau memberikan gelar akademik yang tidak layak kepada politisi, kerabat, atau kroni pemberi sponsor.
2. Suap lisensi dan akreditasi
Monica Kirya (2019) mengungkap, suap lisensi dan akreditasi perguruan tinggi berawal dari kemunculan banyak perguruan tinggi swasta selama tahun 1990-an yang menawarkan program-program gelar baru namun sulit mendapatkan akreditasi karena sistem tersebut berjalan lambat di bawah kendali akademisi senior di lembaga-lembaga publik.
Kenyataan bahwa saat ini gelar sarjana adalah salah satu modal utama untuk mendapatkan pekerjaan dan masa depan yang lebih baik ikut menyumbang insentif atau kesempatan untuk suap dan pemerasan dalam proses akreditasi perguruan tinggi.
3). Suap penerimaan mahasiswa baru
Bentuk korupsi perguruan tinggi lain yang cukup umum adalah suap penerimaan mahasiswa baru. Praktik ini bahkan hal yang umum terjadi di seluruh dunia, dengan bentuk kecurangan seperti memberikan nilai lulus pada ujian masuk atau membocorkan materi ujian sebelum tes dilakukan agar si pemberi suap dapat lolos.
Indonesia juga sempat ramai dengan kasus suap penerimaan mahasiswa baru yang melibatkan mantan Rektor Universitas Lampung (Unila) Prof. Dr. Karomani, M.Si, Wakil Rektor I Bidang Akademik Heryandi, Ketua Senat Unila Muhammad Basri, dan satu pihak dari keluarga mahasiswa sebagai pemberi suap.
Melalui operasi tangkap tangan (OTT), KPK membekuk para tersangka dengan barang bukti kartu ATM dan buku tabungan sebesar Rp1,8 miliar, uang tunai senilai Rp414,5 juta, slip setoran deposito ke salah satu bank dengan nilai Rp800 juta, dan kunci safe deposite box yang berisi emas senilai Rp1,4 miliar.
4. Penyalahgunaan anggaran
Penyalahgunaan anggaran juga menjadi salah satu bentuk korupsi dalam lingkup perguruan tinggi. Tindakan penyelewengan ini biasanya terjadi dari anggaran hibah penelitian atau dana pembangunan infrastruktur yang disalahgunakan melalui berbagai cara.
Contoh cara penyalahgunaan anggaran yang biasa terjadi dalam perguruan tinggi adalah pengadaan perjalanan dan lokakarya fiktif, penipuan penggajian dan tunjangan fiktif, penipuan faktur belanja barang dan jasa, penggelapan dana, hingga perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme dengan pemasok barang dan jasa untuk mencurangi proses tender konstruksi gedung atau fasilitas kampus.
5). Dampak dari korupsi dalam lingkup perguruan tinggi
Berbagai bentuk korupsi di atas tentu memiliki dampak negatif. Patronase, misalnya, dalam jangka panjangnya dapat membahayakan integritas dan kredibilitas sistem pendidikan tinggi secara keseluruhan.
Penyuapan dalam akreditasi perguruan tinggi juga dapat memicu berbagai jenis korupsi akademis yang berpengaruh pada staf atau fasilitas (ruang kelas, perpustakaan, akses internet, dan lainnya) yang tidak memadai. Pada akhirnya, terjadi penurunan standar profesionalitas dan pelebaran kesenjangan antara pengetahuan dan keterampilan mahasiswa.
Dengan demikian, korupsi dalam lingkup perguruan tinggi dapat menurunkan kualitas lembaga pendidikan serta orang yang menerima pendidikan itu sendiri.
Makassar, 28 Mei 2024
yang biasa terjadi dalam perguruan tinggi adalah pengadaan perjalanan dan lokakarya fiktif, penipuan penggajian dan tunjangan fiktif, penipuan faktur belanja barang dan jasa, penggelapan dana, hingga perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme dengan pemasok barang dan jasa untuk mencurangi proses tender konstruksi gedung atau fasilitas kampus.
5). Dampak dari korupsi dalam lingkup perguruan tinggi
Berbagai bentuk korupsi di atas tentu memiliki dampak negatif. Patronase, misalnya, dalam jangka panjangnya dapat membahayakan integritas dan kredibilitas sistem pendidikan tinggi secara keseluruhan.
Penyuapan dalam akreditasi perguruan tinggi juga dapat memicu berbagai jenis korupsi akademis yang berpengaruh pada staf atau fasilitas (ruang kelas, perpustakaan, akses internet, dan lainnya) yang tidak memadai. Pada akhirnya, terjadi penurunan standar profesionalitas dan pelebaran kesenjangan antara pengetahuan dan keterampilan mahasiswa.
Dengan demikian, korupsi dalam lingkup perguruan tinggi dapat menurunkan kualitas lembaga pendidikan serta orang yang menerima pendidikan itu sendiri.
Diberdayakan :
Makassar, 28 Mei 2024