
EDELWEISNEWS.COM – Temu Difabel Nasional 2020 yang dikemas secara darinh sudah berlangsung sebulan. Panitia telah melaksanakan beberapa kegiatan, diantaranya seminar nasional, diskusi-diskusi tematik dan lokakarya nasional dengan beragam tema.
Panitia Temu Inklusi daring 2020 didukung oleh PR Yakkum, tim PerDIK dan SIGAB Indonesia serta sejumlah relawan menggelar Lokakarya nasional. Lokakarya ini bertemakan ‘Quo Vadis Pendataan Disabilitas dan Sistem Informasi Penyandang Disabilitas di Indonesia?, Senin (26/10/2020).
Tema ini rupanya menarik minat partisipan dari berbagai pihak terkait, seperti pemerintah pusat dan daerah, organisasi dan pemerhati masalah disabilitas.
Menurut Ishak Salim, salah satu fasilitator yang memandu jalannya diskusi, tujuan lokakarya adalah untuk memahami dinamika politik pendataan disabilitas. Kesimpangsiuran informasi mengenai siapa lembaga atau badan pemerintah yang paling bertanggung jawab terhadap terlaksananya sensus disabilitas dan terbangunnya sistem informasi disabilitas.
“Dalam banyak kesempatan diskusi sesama aktivis pergerakan difabel, isu pendataan disabilitas merupakan isu penting yang terus diupayakan bisa terjadi. Payung hukum dan regulasi terkait sudah cukup memadai. UU Penyandang Disabilitas pun sudah menetapkan bahwa Kementerian Sosial dan Badan Pusat Statistik menjadi dua lembaga yang punya otoritas terlaksananya sensus disabilitas,” terangnya.
Bahkan pemerintah pun sudah menyusun Rencana Induk Penyandang Disabilitas (RIPD) yang menetapkan 7 sasaran strategis dalam pemenuhan hak-hak difabel, dimana salah satunya perencanaan dan pendataan disabilitas.
Untuk diketahui, Lokakarya Nasional ini, dibagi dalam 5 sesi. Yakni pembukaan oleh Program Manager PR Yakkum, Jaimun, pemaparan oleh narasumber nasional, pemaparan narasumber daerah, diskusi, penarikan kesimpulan dan rencana tindak lanjut.
Adapun narasumber Bambang Krido Wibowo dari Pusdatin Kementerian Sosial RI, Avenzora dari Badan Pusat Statistik, Eli Rahmawati, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dan David Yama dari Kementerian Dalam Negeri.
Kabar dari Daerah
Setiap narasumber menjelaskan perspektif dan program-program yang telah dilaksanakan terkait pendataan disabilitas.
Menurut Bambang Krido, saat ini selain melakukan pendataan difabel yang masuk dalam kategori miskin (DTKS), Kemensos juga akan melakukan pendataan disabilitas menyeluruh pada 2021.
Selain itu, Avensora dari BPS menyatakan bahwa saat ini sudah ada instrumen pendataan disabilitas yang menggunakan format Washington Group on Disability Statistic, dan form tersebut yang dipakai pada SUPAS 2015, data difabel di Indonesia mencapai 8,6% atau lebih 22 juta difabel di seluruh Indonesia. Jumlah ini relatif tinggi dibandingkan data disabilitas versi Kemensos sebesar 11,6 juta, ketenagakerjaan sebanyak 7,1 juta dan dari data kependudukan SP2010 sebesar 4,4 juta difabel. ,
Pemerintah Kabupaten Bantaeng yang diwakili oleh Harmoni, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa menyampaikan, bahwa dalam pembangunan masyarakat desa, sudah ada langkah afirmatif bagi kelompok-kelompok rentan, termasuk difabel. Ia juga menyampaikan bahwa terdapat unit yang mengurusi SLRT atau Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu yang membantu mengidentifikasi kebutuhan masyarakat miskin dan rentan miskin.
“Dan kemudian menghubungkan kelompok rentan dengan program dan layanan yang dikelola oleh pemerintah kabupaten. Dengan sistem ini, telah berdampak bagi difabel,” tuturnya.
Penjabaran menarik lainnya berasal dari Yogyakarta. Pengalaman Badan Pelaksana Jaminan Kesehatan Khusus (Bapeljamkesus) dalam menerapkan pendataan difabel, dan pemberian layanan kesehatan khusus bagi difabel. Sistem jaminan Kesehatan ini menarik dan sangat bermanfaat bagi difabel. Dengan menggunakan sistem one stop service, dimana difabel mendapatkan beragam layanan kesehatan gratis dan klaim atas alat bantu berikut reparasinya.
Sementara dari Situbondo, Luluk Aryantiny sebagai Direktur Pelopor Penyandang Disabilitas Situbondo (PPDiS) menyatakan, bahwa dibutuhkan kerja kolaboratif antara organisasi disabilitas dengan pemerintah daerah dalam memperjuangkan hak difabel. Sejak terbangun MoU antar kedua institusi ini sejumlah kemajuan tercapai.
“Ini berkat hadirnya Data Tunggal Daerah Analisis Kependudukan Partisipatif (DTD – AKP). Kini sudah terdapat data disabilitas Situbondo. Dan berdasarkan data itu, banyak difabel terakses ke layanan publik, seperti difabel memiliki NIK dan KK, berdiri Kelompok Difabel Desa, dan difabel mendapatkan bantuan layanan Kesehatan,” terang Luluk.
Suci dari PR Yakkum berbagi pengalaman bekerja bersama organisasi disabilitas di sejumlah kabupaten, dalam membenahi DTKS agar lebih inklusif.
Menurut Suci, masih ada sejumlah tantangan dalam menjalankan upaya ini, seperti masih kuatnya stigma disabilitas, desa-desa terpencil, dan perspektif aparat birokrasi yang masih kurang berperspektif difabel dan inklusif. Namun tantangan itu mesti diatasi dengan kolaborasi Pemda – OPDis dan terencana.
Muhammad Joni Yulianto dari SIGAB Indonesia dan Maliki, Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Bappenas melengkapi diskusi selama 2 jam tersebut.
Maliki mengatakan, di Bappenas saat ini telah tersedia peta jalan menuju pendataan disabilitas nasional, dan akan disinkronisasi agar tersedia sistem pendataan dan sistem informasi difabel yang solid.
Joni Yulianto mengatakan, UU Penyandang Disabilitas No. 8 tahun 2016 telah memandatkan data nasional disabilitas, dipertegas kembali dalam PP 70/2019. Saat ini sudah 4 tahun sejak UU 8/2016 disahkan dan hingga saat ini belum punya data Nasional disabilitas berbasis sensus.
Selama ini, data disabilitas telah diisolasi ke dalam data terpadu kesejahteraan sosial dan hal ini tidak akan menjawab kebutuhan dan pemetaan data disabilitas.
Sistem data yang konsisten, terintegrasi dan lintas sektor sangat diperlukan untuk menjawab kebutuhan implementasi hak difabel sesuai RIPD dan UU Disabilitas. Masih adanya ego-sektoral dan disintegrasi pendataan yang hanya menjawab kebutuhan sectoral K/L tertentu.
Joni menarik sejumlah poin penting. Antara lain,
telah ada inisiatif yang dilakukan sejumlah pihak. Inisiatif untuk membangun data nasional penyandang disabilitas melalui SIKS-PD. DUKCAPIL Kemendagri telah memulai mengupayakan sinkronisasi data, termasuk data disabilitas dipergunakan untuk kepentingan pelayanan publik di berbagai sektor.
Pengalaman beberapa daerah seperti Bantaeng, DIY dan Situbondo menunjukkan bahwa upaya responsif atas kebutuhan data dan pemanfaatannya dapat menjadi sangat efektif. Ini bisa diperluas dengan dukungan sistem kebijakan dan infrastruktur pendataan yang saling terhubung.
Menuju sistem pendataan yang terintegrasi, BAPPENAS telah menginisiasi roadmap pendataan nasional disabilitas.
Joni juga merumuskan tantangan-tantangan di depan. Yakni, sistem pendataan yang terintegrasi dan saling terhubung – lintas sektor, pusat dan daerah. Kebutuhan pelibatan difabel / organisasinya dalam urusan proses pendataan dari hulu ke hilir, karakteristik khusus disabilitas – perlunya ‘disability assessment’, stigma yang membuat banyak keluarga belum mau terbuka akan status anggota keluarga yang difabel, optimalisasi aktor/lembaga yang terlibat dalam proses pendataan.
Terakhir, Joni merumuskan sejumlah rekomendasi. Seperti, reorientasi data nasional disabilitas – bukan berbasis kemiskinan, melainkan untuk menjawab gambaran situasi difabel, serta hambatannya sebagai basis perencanaan lintas sektor, roadmap pendataan difabel yang sudah ada perlu didukung oleh lintas K/L dan bukan dilaksanakan oleh hanya 1 kementerian.
Belajar dari SIM PD, penguatan inisiatif pendataan melalui sistem, kapasitas, dan jejaring dan berbagi peran dan optimalisasi peran daerah serta desa. Kebutuhan yang mendesak, yakni disabilitas dalam angka yang periodik dan berkelanjutan. Membangun mekanisme disability assessment di tingkat yang terdekat dengan penyandang disabilitas. (ril)
Editor : Jesi Heny