Dejavu, “Tuhan di Bilik Suara”


Oleh: Rusdin Tompo

(Koordinator Satupena Provinsi Sulawesi Selatan)

Sekira pukul 06.00 wita, saya berjalan menuju ke Pos Security Perumahan Kompleks Anggrek cluster TM/TR, Kelurahan Tombolo, Kecamatan Sombaopu, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan. Saya sengaja ke sana, karena di tempat ini menjadi lokasi TPS 018, tempat saya akan memberikan suara dalam pemilu serentak, yang diadakan pada Rabu, 14 Februari 2024.

Tanggal ini, biasanya dirayakan sebagai Hari Kasih Sayang atau Valentine’s Day. Namun, secara kreatif, Kementerian Kominfo RI, menyebut momen penting dalam pesta demokrasi lima tahunan ini sebagai Hari Kasih Suara. Mengapa, karena setiap orang yang punya hak untuk memilih, akan menggunakan hak pilihnya, di mana setiap suara yang diberikan, nilainya sama dan setara saat dihitung. One man one vote, kesepakatan bersama menentukan nasib bangsa.

Tiga hari sebelumnya, petugas pemilu sudah mengantar Surat Pemberitahuan Pemungutan Suara Kepada Pemilih. Dalam surat undangan itu, tertulis saya berada pada nomor DPT 210. Waktu pemungutan suara dilakukan antara pukul 07.00-13.00 wita. Undangan itu disertai tanda tangan Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Hasnawati.

Sambil antre menunggu giliran, saya bertemu beberapa warga. Ada yang bilang, dia bingung mau pilih caleg yang mana. Untuk DPR RI, banyak caleg yang dikenal, tapi untuk DPRD Kabupaten, sama sekali tak ada yang dikenal. Meski di lokasi pemilihan dipajang daftar calon tetap, tiap partai lengkap nomor urut, tetap saja dia tidak punya bayangan siapa yang akan dipilih.

Suasana ini serupa yang saya temui pada pemilu 2019. Lima tahun lalu, di lokasi itu juga beberapa warga menyampaikan belum tahu, partai apa dan siapa caleg yang akan dicoblos. Jadi semacam dejavu, bahwa apa yang saya rasakan sekarang sama dengan kejadian pada masa lampau.

Kami ini hanya segelintir dari orang-orang yang belum bersikap terhadap siapa yang akan dipilih dalam pemilu 2024. Publikasi Litbang Kompas juga memperlihatkan kecenderungan yang sama, orang-orang yang belum menentukan pilihan atau undecided voters. Data Litbang Kompas, bulan Oktober 2022-Desember 2023, masih menampilkan responden yang menjawab “tidak ada”, “tidak tahu” dan “rahasia”. Kelompok responden ini, bisa disebut masa mengambang (floating mass), ya mirip-mirip di kasus yang saya ceritakan di atas.

Maka tepatlah judul buku Sri Rahmi, “Tuhan di Bilik Suara” (2019). Buku yang ditulis berdasarkan pengalamannya ikut dalam 5 kali pelaksanaan pemilu ini, mendokumentasikan secara baik, kerja-kerja politik yang dilakukan politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Bunda, begitu biasa ia disapa, dua kali terpilih sebagai anggota DPRD Kota Makassar (2004-2009 & 2009-2014), dan dua kali terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan (2014-2019 & 2019-2024). Dalam pemilu 2024 ini, Sri Rahmi maju sebagai caleg PKS untuk DPR RI.

Mengapa judulnya “Tuhan di Bilik Suara”? Itu karena saya percaya ada kuasa, ada kekuatan yang menggerakkan hati seorang pemilih memilih kandidat tertentu saat berada di bilik suara. Hitungan waktunya memang sangat sempit. Mungkin hanya 3 menit di bilik suara.

Dari buku yang memorable itu, ada hikmah yang saya catat. Bahwa praktik politik yang dijalani seorang Sri Rahmi, bukan politician an sich, tapi ia mengembangkan politik transformatif. Bahwa ia kaya pengalaman maccaleg, dan punya spirit pengabdian pada keluarga, masyarakat, dan negara. Politik baginya juga bukan sekadar passion tapi merupakan calling. Jiwa politiknya terbentuk sejak dini. Bahwa ada religiusitas dalam kehidupan politiknya, sehingga selalu menyertakan Tuhan dalam tindakan dan ucapan politiknya.

Sebagaimana buku yang diniatkan ditulis sebagai pembelajaran, saya mencatat bahwa keterpilihan seseorang dalam pemilu, terutama incumbent, ada beberapa sebab. Pertama, komunikasi politik yang terus merawat silaturahmi. Kedua, membangun dan mengembangkan networking. Ketiga, merawat konstituen. Keempat, adanya tim kerja yang meski kecil tapi efektif. Kelima, dukungan dan keluarga. Keenam, pilihan partai. Ketujuh, visi politik sang kandidat.

Dari judul buku yang juga jadi judul tulisan ini, saya percaya bahwa masih banyak politisi yang istiqamah menjalankan politik profetik. Politik kenabian ini memiliki 4 sifat. Yakni Amanah (tanggung jawab), Siddiqh (dapat dipercaya), fathonah (cerdas), dan tabligh (penyampai). Wallahualam bissawab. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel

Kemanusiaan untuk Mengatasi Problematik Kebangsaan

Intisari Khutbah Jum’at, di Masjid Istiqlal,11 Jumadil Akhir 1446 H/ 13 Desember 2024 M)Oleh : Dr. H. Basnang Said, S.Ag., M.Ag(Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren,Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI “Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala, Tuhan Maha Kuasa yang telah menciptakan kehidupan ini dengan segala keindahan dan keberagamannya. […]

Read more
Artikel Makassar

Kedai Kopi, Rekreasi, dan Diskusi Seni Budaya di Pelataran Sao Panrita

Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan) Kedai kopi bukan sekadar tempat ngopi. Sejak pertama kali muncul di Konstantinopel, sekarang Istanbul, Turki, di tahun 1475, kedai kopi telah memainkan peran penting sebagai ruang pertukaran ide. Orang datang bukan sekadar untuk menyeruput secangkir kopi, tapi juga berbisnis, dan berdiskusi perihal politik, seni, dan sastra. Aktivitas seni […]

Read more
Artikel Makassar SULSEL

Prof Dr Hj Kembong Daeng: Suamiku Motivatorku 

MAKASSAR, EDELWEISNEWS.COM – Suara Syahratul Hawaisa Yahya tercekat. Terasa ia berusaha kuat menahan tangisnya saat membacakan tulisan ayahnya, H Muhammad Yahya Daeng Sekre, yang berkisah tentang ibunya, Prof Dr Hj Kembong Daeng, M.Hum. Kisah yang terdokumentasi rapi dalam lembaran-lembaran buku autobiografi “Permata Karya” itu, dibacakan penuh haru di hadapan keluarga, sahabat, mahasiswa dan mereka yang […]

Read more