POSO,EDELWEISNEWS.COM – “Teman-teman, bolehkah saya diberikan waktu khusus,” pinta Iksam, salah seorang Arkeolog Sulawesi Tengah.
Wajah Iksam tampak lebih serius dari biasanya. Di depannya terhampar bukti-bukti sejarah. Bagi mata awam, pemandangan di depannya mungkin malah terlihat menyeramkan karena terhampar ribuan tengkorak di tebing dengan ketinggian yang drastis. Namun bagi Iksam, di depannya ada peradaban kebudayaan yang sedang mengajaknya berbicara melalui benda-benda yang kelihatan usang tak terurus itu. Sebagian bahkan tertimbun oleh batuan yang sudah menjadi tanah.
Kayu bercat hitam-putih di tangannya, dikeluarkan. Alat ini menemani Iksam sepanjang perjalanan ekspedisi Poso.
“Ini alat ukur” jelasnya.
Iksam, yang adalah tim ahli arkeologi Ekspedisi Poso mengukur setiap benda klasik yang ditemukannya selama menyusuri kampung-kampung di pinggir danau Poso.
Siang hari itu, 17 Mei 2019, setelah mendaki tebing curam selama hampir 1 jam tanpa makan, Iksam menjadi tim pertama yang tiba di salah satu puncak tebing curam Watu Makilo. Di depannya terbentang sebuah pemakaman tradisional Pamona ribuan tahun yang lalu. Tengkorak-tengkorak manusia bertumpuk , sebagian teratur, sebagian lainnya nampak mulai tertutup batuan yang sudah menjadi tanah. Tanah itu yang menjadi pilihan pijakan tim ekspedisi Poso.
Setelah berpamitan pada leluhur yang dijumpainya saat itu, Iksam mulai mengeluarkan alat ukur dan buku catatannya. Alat ukur itu untuk mendeteksi benda-benda di depannya. Kameranya memotret benda-benda tersebut. Wajah Wakil Kepala Museum Sulawesi Tengah ini tampak tekun, sesekali tertegun lalu terkagum-kagum dengan temuannya hari itu. Di kiri kanan tengkorak, nampak peti besi, peti dari kayu dengan simbol khusus, wadah khusus berbentuk baso ( wadah dari pelepah sagu ).
Iksam mengamati dengan teliti setiap motif yang terukir di peti. Belakangan, pada tim ekspedisi Poso lainnya, Iksam menjelaskan kekayaan makna dari simbol-simbol tersebut.
“ Kita menemukan di peti-peti tersebut ada motif sapi, kerbau dan kuda. Ini cara orang tua dulu menggambarkan siapa orang yang meninggal. Kalau motifnya sapi, maka dia pasti orang kaya memiliki banyak ternak terutama sapi, kalau motif kerbau maka orang ini adalah bangsawan, sementara motif kuda artinya seorang ksatria atau orang yang terpandang,” terang Iksam.
Di ceruk tebing batu yang tingginya 767 meter dari permukaan laut, terdapat bukti sejarah orang Pamona ribuan tahun yang lalu . Menurut Iksam, temuan tulang belulang manusia yang dikubur dengan cara disimpan di dalam gua di wilayah Watu Makilo ini memiliki kemiripan dengan cara pemakaman orang Toraja dan Nias. Bedanya di Toraja dan Nias, tradisi pemakaman seperti ini masih dipraktekkan.
“Tengkorak-tengkorak yang masih utuh ini memang masih berusia sekitar ratusan tahun yang lalu, tapi sistem pemakamannya ini sudah ribuan tahun. Ini terlihat dari tengkorak lain yang sudah hancur dan tertanam di bawah kaki kita,” Iksam menjelaskan sambil menunjukkan tengkorak manusia yang masih utuh dan yang sudah hancur.
Selanjutnya dijelaskan Iksam, tradisi ini terkait dengan sejarah migrasi manusia di Sulawesi dan Indonesia. Jika mengacu pada kebudayaan megalith di Lore yang diyakini sebagai asal leluhur orang di pinggir danau yang menyebar ke selatan hingga Toraja, maka bisa dibilang tradisi di Toraja merupakan warisan dari Lore dan Poso.
Yang berbeda ketika agama wahyu masuk ke Poso, banyak tradisi termasuk cara pemakaman kemudian berubah. Sementara di Toraja yang meskipun sudah memeluk kristen, adat dan tradisi pemakaman ini masih dipertahankan.
Sementara Hajai Ancura, budayawan yang juga anggota Aliansi Penjaga Danau Poso menceritakan dugaannya tentang ribuan tengkorak tersebut.
“Banyaknya kerangka manusia yang terkumpul di dalam satu gua, kemungkinan menunjukkan adanya kematian massal di sekitar awal tahun 1900 an. Cerita turun temurun yang saya dengar pernah menyebut bahwa suatu masa, kampung-kampung di pinggir danau Poso diserang penyakit misterius yang mereka sebut Jua Lele”.
Cerita Hajai, dikuatkan oleh Iksam yang menyebutkan, pada saat perang dunia pertama, ada wabah penyakit yang menyebabkan banyak kematian di Indonesia. Hajai menyebut, kematian massal di pinggiran Danau Poso akibat penyakit Sampar atau Pes yang menular dari hewan pengerat yakni tikus.
Sementara itu, Iksam menghitung perkiraan umur kerangka dan membandingkan dengan peristiwa menjangkitnya Jua Lele. Hasilnya, waktunya hampir bersamaan.
Hal yang menarik, lokasi pemakaman tradisional orang Pamona ini berada tepat di samping zona sesar Poso Barat. Menurut Rahman, tim ahli geologi Ekspedisi Poso, tebing batu yang terbelah dua dan meninggalkan garis-garis berpola menjadi bukti zona sesar Poso Barat ( tentang zona sesar Poso Barat bisa dibaca di edisi Ekspedisi Poso : Menemukan Zona Sesar Poso Barat).
Situs Arkeologi Dunia
Watu Makilo bukan satu-satunya tempat dimana menggambarkan masa lalu orang Poso terkait sebuah peristiwa alam dan peristiwa bencana yang cukup besar.
Di Desa Tindoli, Kecamatan Pamona Tenggara, terdapat situs perkampungan tua, sebuah benteng alam bernama Kandela. Benteng yang digunakan dalam perang suku hingga perang melawan Belanda ini, lokasinya berada diatas air terjun. Butuh waktu sekitar 40 menit untuk mendaki bukit menuju ke sana.
Di lokasiini, Iksam memeriksa berbagai artefak yang masih terjaga disana. Menurut cerita orang tua di Tindoli, Kandela adalah bekas kampung tertua tempat nenek moyang orang Tindoli. Dari Kandela, mereka kemudian berpindah ke bukit dibawahnya. Pusat pemukiman saat ini di pinggir pantai merupakan perpindahan yang ke tiga kalinya.
Kandela meninggalkan jejak peradaban berusia ribuan tahun. Ada lapisan situs yang berlapis-lapis ditemukan tim ekspedisi Poso.
“Saking tuanya situs ini, terdapat beberapa lapisan peninggalan sejarah ribuan tahun di benteng ini, jadi bukan cuma satu,” tegas Iksam.
Selain sistem pertahanan berupa susunan tembok batu, ada pula peninggalan tua berupa pemakaman tua berisi tulang belulang leluhur orang Tindoli, peti kayu berisi tulang berukir belulang hingga pecahan piring. Piring buatan Prancis dan Cina tahun 1800an, ini menunjukkan sudah ada kontak antara penghuni Kandela saat itu dengan dunia luar.
Namun yang lebih tua dari tulang belulang dan meninggalkan pesan bahwa sudah ada manusia sejak ribuan tahun lalu di Kandela, adalah lukisan tangan atau cap tangan (handstensil). Cap tangan ini menempel di gua Kandela. Warnanya yang sudah menghitam mengindikasikan adanya manusia pra sejarah yang usianya mencapai belasan hingga puluhan ribu tahun.
Menurut studi Etno arkeologi, sebagaimana dijelaskan Van Heekeren, cap tangan di gua hendak menceritakan perjalanan arwah manusia yang telah meninggal yang meraba-raba mencari jalan menuju alam arwah, cap tangan juga menjadi tanda berduka yang dibuat oleh kerabat dekat orang yang meninggal.
Temuan berupa cap tangan juga sebelumnya diungkap balai pelestarian cagar budaya Gorontalo di situs Tebing Batu Putih, situs Pengia dan situs Ganda-Ganda di Morowali Utara. Melihat warnanya yang sudah menghitam, Iksam menduga cap tangan di situs Kandela berusia lebih tua dibanding ketiga situs di Morowali itu.
“Di Tindoli ini pernah ada tradisi penguburan kedua dimana sebelum dibawa ke gua, jenazah terlebih dahulu disimpan di para-para hingga tersisa tulang belulang. Setelah itu baru dibawa ke gua sebagai tempat peristirahatan terakhirnya,” begitu Iksam menjelaskan hubungan antara temuan tulang belulang dengan tradisi masyarakat dimasa lalu.
Temuan-temuan menakjubkan ini menurut Iksam, menunjukkan situs Kandela adalah cagar budaya yang harus dilindungi. “Desa Tindoli punya situs arkeologi kelas dunia”katanya.
Sejarah turun temurun di Poso menceritakan, Benteng Kandela menjadi pertahanan terakhir pahlawan-pahlawan, seperti Tampayau dan Tabatoki menghadapi serangan pasukan Belanda. Sayangnya belum ada riset mendalam mengenai kisah peperangan disini yang bisa kita baca.
Temuan piring ini, juga bisa menjelaskan jalur perdagangan yang dilakukan dengan dunia luar melalui pelabuhan. Iksam menduga besar kemungkinan, penggunaan piring keramik dan peti penyimpan kerangka dari besi merek Butterfly masuk lewat pelabuhan Kolonedale di Morowali Utara saat ini.
Selain di Kandela, bekas-bekas peradaban masa lalu juga kita temukan Gerabah yang sudah tertimbun hingga 50 cm di Waka Lipu bekas kampung tua di Desa Tolambo. Tepat diatas danau ada tebing yang menjadi lokasi pemakaman desa, ada sebuah makam yang berbeda dengan makam lainnya. Nisannya berbentuk setengah lingkaran dengan diameter sekitar 40 cm.
Lanjut Iksam, tipe nisan seperti itu berbeda dengan model makam lainnya di Pamona dan menunjukkan dibuat sebelum masuknya agama Samawi ke Poso.
Fakta-fakta temuan arkeologi selama Ekspedisi Poso mulai dari situs Kandela di desa Tindoli hingga Watu Makilo di desa Boe menunjukkan kalau wilayah ini memiliki potensi cagar budaya yang dilindungi undang-undang cagar budaya nomor 11 tahun 2010. Artinya, menurut Iksam, proses pembangunan di wilayah pesisir danau wajib mempertimbangkan keberadaan cagar budaya yang terdapat disekitarnya dengan tidak merusak atau merubahnya.
Perjalanan pertama Ekspedisi Poso tanggal 16 – 22 Mei 2019 baru memulai di wilayah Barat Danau Poso , sebagian wilayah di wilayah Timur yaitu Desa Tolambo dan Tindoli. Direncanakan perjalanan kedua Ekspedisi Poso di bulan Juni 2019 akan menyusuri wilayah Sesar Poso, di Desa Dulumai, Peura, wilayah Tentena hingga ke Poso Kota.
Sumber : www.mosintuwu.com
Editor : Jesi Heny