Hari Ini 17 Agustus, Sepuluh Tahun yang Lalu

0
297

Oleh : Indah Devi Ardiani

17 Agustus 2019

Aku duduk termangu, melihat betapa ramainya anak-anak sekolah dasar mengenakan seragam merah putih, berjalan dengan penuh canda tawa menuju lapangan dekat kecamatan untuk berbaris mengikuti serangkaian acara upacara peringatan hari ulang tahun bangsa Indonesia yang ke 74. Indonesia sudah tua, menginjak kepala 7 yang tergelayuti berbagai konflik dan nestapa, tapi masih banyak yang mencintai dan membanggakannya. Kini aku menyeruput kopi buatan ibu, menikmati hari liburku mengikuti warna merah pada kalender. Aku bahagia, bukan karena hari ini akan banyak lomba 17-an di kampungku, tetapi hari ini aku genap berusia 22 tahun. 22 tahun yang kurasa tidak pernah sia-sia, aku menikmati kehidupanku hingga detik ini. Suka duka tentu sudah kulalui, aku tak memungkiri kehidupan ini begitu berat dan sempat membuatku berkali-kali menyeka air mata yang tak sengaja menetes dengan mudahnya.

Mataku berganti pandangan, kini aku melihat seorang perempuan cantik sedang membawa sekantung belanjaan berisi sayur dan lauk yang akan ia masak. Betapa senyumnya selalu berhasil meluluhkan hatiku meski tanpa harus berdegup dengan kencangnya. 22 tahun sudah aku hidup dengannya, merasakan hangat dekap peluknya, lembut suaranya yang tak pernah melukai perasaanku.

“Kok matanya nggak berkedip to, le ?” sapanya seraya menepuk pundakku.

“Lagi menatap bidadari, bu,” jawabku menggodanya.

Sudah menjadi kebiasaan dari tahun ke tahun, ibu akan selalu membuatkan aku nasi tumpeng lengkap dengan jajaran lauk pendukungnya. Kami akan merayakan ulangtahun berdua saja seperti tahun-tahun sebelumnya, melantunkan untaian doa agar bisa dijabah oleh Sang Pencipta. Aku tidak mau bertanya sampai kapan ibu akan membuatkan aku nasi tumpeng, karena aku tidak ingin kehilangan momen berharga yang hanya bisa kunikmati satu tahun sekali ini.

Hari ini masih panjang, aku masih saja duduk menikmati secangkir kopi, barangkali bisa melihat anak-anak dengan wajah kelelahan selepas upacara sambil membawa sekantung plastik es teh segar. Aku bersandar di kursi bambu yang sudah rapuh termakan usia, aku tersenyum tipis, mengenang memori bagaimana aku menapaki kehidupan yang terjal ini. Aku tidak sedih dan kecewa, aku hanya berusaha berterimakasih kepada semesta yang selalu memberikan aku kekuatan dikala pundakku melemah karena duka dan lara. Obatku hanyalah senyuman ibu, tidak ada lagi.

16 Agustus 2019

Aku mematut diriku di depan cermin yang hanya bisa memperlihatkan setengah badanku. Aku merapikan kerah baju dinas yang aku pakai sehari-hari untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Ibuku sangat bangga ketika aku memakai seragam putih yang dipadukan dengan celana hitam, ditambah sepatu pantofel hitam legam yang rajin aku bersihkan setiap malam sebelum membangun mimpi di tidurku. Pagi yang tidak berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Setelah selesai menghias diri, kulanjutkan sarapan dengan nasi putih hangat dan selembar tempe yang cukup mengganjal perutku sampai makan siang tiba. Aku mulai mengeluarkan motor butut dari kandangnya dan memulai hariku dengan mengendarainya di sepanjang jalan perkampungan menuju tempat dinas.

Kehidupan masih lengang kurasakan di sepanjang jalan, hanya beberapa ibu-ibu mulai mengantarkan anaknya ke sekolah, dan pedagang sayur keliling yang mulai menjajakan dagangannya. Mereka sama sepertiku, sama-sama melawan dinginnya pagi untuk mengejar sesuatu yang mereka dambakan. Pukul 06.30 WIB, motorku sudah kuparkir rapi di jejeran parkir karyawan, aku meletakkan tas dan topiku di pos, dan mulai membuka gerbang dan pintu. Aku bekerja di sebuah bank swasta, aku selalu berdiri sigap di belakang pintu masuk, membukakan pintu untuk setiap nasabah yang datang sembari memberikan senyuman terbaik.

Menjadi seorang security bukanlah cita-citaku. Sejak kecil aku ingin sekali memakai seragam tentara, membawa pistol, melindungi semua orang dari mara bahaya, mencintai negaraku, melindungi rakyat Indonesia. Tapi itu adalah impian masa kecilku, yang akhirnya tidak terealisasikan hingga aku hampir menginjak usia 22 tahun. Sekali lagi, aku tidak sedih dan tidak kecewa, karena aku yakin ini adalah rencana Sang Pencipta untukku. Aku sudah menapaki karirku hampir 4 tahun. Menjadi lulusan SMK yang biasa-biasa saja tidak mendorongku untuk banyak bermimpi. Bisa diterima bekerja di sebuah bank yang tidak sampai berjarak puluhan kilo dengan rumah, membuatku bersyukur karena aku tidak perlu repot mengurus tiket bus maupun kereta jika harus berjumpa dengan ibu.

“Maaf, bu, tetapi bank tidak bisa memberikan pinjaman sebesar itu.” Seorang karyawan bank berusaha untuk memelankan suaranya, mencoba memberi tahu seorang nasabah, seorang perempuan tua yang duduk sambil menyeka matanya. Terlihat ia sudah menangis semalaman, menyembunyikan berbagai luka di hatinya. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa, ia berdiri dan berlalu meninggalkan bank dengan kekecewaan yang mendalam. Aku hanya bisa menatapnya nanar, membayangkan ibu. Otakku kini mulai bermain-main kembali memutar sebuah memori.

25 Agustus 2009

Keputusan ibu sudah bulat, ibu mengajakku pindah dari ibukota menuju Yogyakarta, tempat kelahiran ibu. Ibu sudah tidak sanggup menelan pahitnya kehidupan di ibukota yang kejam yang terlalu banyak meninggalkan kenangan bagi ibu. Aku masih 12 tahun, aku hanya bisa mengangguk mengiyakan seluruh keputusan ibu, karena aku tidak mau melihat ibu menangis setiap malam, karena aku belum cukup kuat mengusap air mata ibu. Kami memutuskan meninggalkan rumah kontrakan pada malam harinya, kami menuju terminal dengan langkah yang pasti. Ibu menggenggam tanganku dengan erat, meyakinkan aku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku sempat kehilangan senyum ibu, aku sempat menitikkan air mataku ketika ia tidak melihatku. Aku ini anak lelaki, tetapi apa yang bisa aku lakukan sebagai seorang lelaki berusia 12 tahun. Aku hanya bisa pasrah dan diam.

17 Agustus 2009

Betapa bahagianya hari ini, aku genap berusia 12 tahun. Sebentar lagi masuk SMP, sudah tidak lagi memakai seragam merah putih. Aku sudah besar, pikirku. Ibu sedang sibuk di dapur, membuatkan aku nasi tumpeng. Aku hanya duduk bersandar di sebuah kursi, memandangi layar TV 14 inch yang sedang menyiarkan pengibaran bendera merah putih di istana negara. Keren sekali melihatnya. Aku juga melihat jajaran TNI mengikuti upacara dan bahkan ada yang menjadi pemimpin upacara. Mereka adalah orang-orang gagah yang berjiwa besar, mulai saat ini cita-citaku adalah menjadi seorang tentara.

Nasi tumpeng sudah dihidangkan di atas meja, ibu sudah menyiapkan sekotak kado istimewa yang dibalut dengan kertas kado berwarna hijau tua. Aku sudah menyiapkan beberapa doa yang nantinya akan siap diaminkan oleh ibu dan ayah. Betapa sempurnanya hidupku. Belum sempat aku menyampaikan doa-doaku, ibu menerima telepon dari seseorang. Sebuah telepon yang mengubah 17 Agustusku penuh dengan haru.

Aku mengikuti ibu yang berlari sekuat tenaga melewati koridor rumah sakit, dari jauh aku melihat ibu menuju sebuah ruangan bertuliskan ICU. Seorang anak berumur 12 tahun yang hendak merayakan ulangtahunnya, tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, hanya bisa terduduk lemas dengan hati yang berkecamuk. Hanya dengan waktu sepersekian detik saja, suka berubah menjadi duka, senyum ibu hilang begitu saja ditelan kabar singkat lewat telfon, nasi tumpeng dan sebuah kado di atas meja kami lupakan begitu saja, seperti sudah tidak ada artinya. Hari ini aku melihat ibu menangis, hari ini aku mendapati diriku lemah tidak berdaya, hari ini kabar itu datang bak sambaran petir yang datang tiba-tiba, hari ini aku kehilangan ayah untuk selamanya. Sejak hari ini, hidupku berubah, mimpi dan cita-citaku hilang pudar bagaikan debu jalanan tersapu riuhnya kendaraan ibukota.

17 Agustus 2019, pukul 14.00 WIB

Nasi tumpeng sudah dihidangkan di atas meja, tetapi kali ini ibu sudah tidak menyiapkan sekotak kado istimewa yang dibalut dengan kertas kado berwarna hijau tua. Aku dan ibu duduk berdampingan, kini aku kembali melihat senyumnya, sama seperti 10 tahun yang lalu. Kini, aku mengerti mengapa ibu mengajakku pindah ke Yogyakarta. Bukan, bukan karena ibu ingin aku melupakan ayah yang sudah menemaniku selama 12 tahun. Bukan karena ibu membenci ayah karena sudah tega meninggalkannya dikala kasih sayang sangat dibutuhkan saat itu. Ibu hanya tidak ingin berlarut dalam kesedihan karena setiap langkah ibu selalu dibayangi dengan kerinduannya kepada ayah. Kini aku mengerti, move on bukan berarti kita harus melupakan sesuatu atau seseorang yang pernah ada di hidup kita, hanya saja move on adalah jalan agar kita mampu terus melangkah ke depan, meskipun sudah tidak ada seseorang yang ada di samping kita.

Tentang Penulis

Indah Devi Ardiani, seorang mahasiswa lulusan Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Agribisnis, Universitas Gadjah Mada. Hobi menulis sudah ia geluti sejak masih duduk di bangku SMP. 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini