MAKASSAR, EDELWEISNEWS.COM – Tallo itu punya nama besar di masanya. Menyebut “Tallo” mengingatkan kita pada Kerajaan Tallo, dan kerajaan kembar Gowa-Tallo, yang terkenal dengan ungkapan “Sekreji ata na rua karaeng” atau satu rakyat dengan dua raja”.
Di Tallo ini pula tempat lahirnya seorang cendekiawan, Mangkubumi Kerajaan Gowa, yang dihormati ilmuwan Barat, yakni Karaeng Pattingalloang.
Ini merupakan sejumlah poin yang mengemuka dalam Workshop Persiapan Tur Sejarah Tallo (Jappa-Jappa ri Tallo), yang diadakan di Kompleks Makam Raja-Raja Tallo, Jalan Sultan Abdullah III, Sabtu, (13 Juli 2024). Workshop dibuka oleh Ferdhiyadi N, penerima program Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan 2024 dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX Kemendikbudristek RI.
“Kegiatan ini bukan hanya menentukan titik-titik lokasi yang akan dikunjungi oleh peserta Tur Sejarah Tallo. Namun, sekaligus sebagai pemetaan terhadap sumber daya yang ada dan mendorong orang berkolaborasi pada upaya-upaya pemajuan kebudayaan,” jelas Ferdhi, yang merupakan akademisi dan pegiat kebudayaan.
Sebelum acara dimulai Ferdhi bersama Kaharuddin, warga Tallo, berziarah di makam Sultan Mudafar, I Manginyarrang Daeng Makkiyo, Raja Tallo VII (1598-1640). Nilai-nilai dan kearifan lokal akan selalu dipehatikan selama penyelenggaraan kegiatan ini.
Workshop dipandu oleh Rusdin Tompo, pegiat literasi, yang juga merupakan Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan. Kisah-kisah dari sumber-sumber tertulis disampaikan dalam forum ini terkait situs-situs sejarah yang ada di Tallo. Warga juga menyampaikan cerita yang mereka peroleh dari orangtua secara turun-temurun.
Curah pendapat dengan versi dan perspektif berbeda ini justru memperkaya informasi dan membuat forum lebih hidup. Diskusi soal situs berkembang, membawa ingatan peserta pada kejayaan dan kebesaraan Kerajaan Tallo.
Di tempat yang kini secara administratif dikenal sebagai Kelurahan Tallo, Kecamatan Tallo, bukan cuma ada Kompleks Makam Raja-Raja Tallo. Terdapat situs-situs lain, yang tidak banyak diketahui orang, seperti Timongang Lompoa, Bungung Mawara’, Bungung Lompoa ri Tallo (Bungung Masigi), Kompleks Makam Raja Bone XII dan Raja Bone XXII, dan bekas Benteng Tallo di antaranya Bastion Maccini Sombala atau Pabbanderang.
“Kalau kita bicara Makassar, ikonnya dalam konteks sejarah dan budaya itu adalah Tallo. Sedangkan, kalau bicara Tallo, ikonnya adalah Timongang Lompoa,” papar Sudirman, pegiat kebudayaan.
Sudirman, yang aktif di Karang Taruna dan kerap berdiskusi dengan Dewan Adat Tallo, lalu menyampaikan sejarah nama Kota Makassar, dan sejarah masuknya Islam di Sulawesi Selatan, keduanya punya titik persinggungan dengan Tallo.
Istilah “Akkasaraki” atau “Makkasari”, dalam peristiwa pertemuan Karaeng Matoaya, Raja Tallo VI, dengan lelaki bersorban hijau dan berjubah putih, disebut berkaitan dengan asal mula nama Makassar. Lokasi pertemuan mereka itu, dikenal dengan Timongang Lompo ri Tallo.
Sudirman nanti menjadi salah seorang pemandu dalam kegiatan Tur Sejarah Tallo, Jappa-Jappa ri Tallo. Selain dia, ada pula Adil Akbar, guru sejarah di SMAN 2 Makassar penulis buku tentang Kerajaan Gowa, Rahmatul Yushar, guru sejarah dengan fokus kajian sejarah islam, alumni UIN Alauddin, Makassar, Bu Saenab, warga Tallo yang tinggal dekat Pantai Marbo.
Adil Akbar menyampaikan, berbagai sumber memperlihatkan peran Kerajaan Tallo dalam sejarah maritim di Nusantara. Salah satu bukti peninggalannya, yakni Pelabuhan Soekarno-Hatta, yang di masanya masuk wilayah Kerajaan Tallo.
Sementara Saenab mengemukakan pesan bijak dalam bahasa Makassar yang menyatakan “tallasa tena lekba mate”. Artinya, jiwa itu akan tetap hidup, yang mati hanya badan atau tubuh. Seseorang akan selalu abadi dalam kenangan. Ini sebagai ungkapan agar kita selalu mengingat dan menghormati leluhur.
Setelah pembahasan sekilas tentang situs-situs bersejarah di Tallo oleh Rahmatul Yushar, workshop secara partisipatif kemudian menemtukan lokasi awal tur dimulai. Ada 9 lokasi situs bersejarah yang akan dikunjungi peserta Jappa-Jappa ri Tallo.
Acara pelepasan peserta tur dimulai dari Pantai Marbo dan diakhiri di Kompleks Makam Raja-Raja Tallo. Setelah itu peserta akan ke dermaga yang tak jauh dari situ, lalu dengan menumpangi kapal menyusuri muara Sungai Tallo untuk kembali ke Pantai Marbo
Ferdhi, yang aktif di Ruang Abstrak Literasi itu, melihat antusias orang pada kegiatan yang merupakan bagian dari Pertunjukan Seni Budaya Muara Sungai dan Tallo Bersejarah. Indikatornya pada jumlah peserta yang mendaftar sebanyak 147 orang dari berbagai latar belakang. Sementara yang akan ikut tur Jappa-Jappa ri Tallo hanya 15 orang. Tur akan dilaksanakan pada Minggu, 21 Juli 2024.
Rusdin Tompo menyampaikan, keseluruhan kegiatan di kawasan Tallo lama ini reaktualisasi sejarah dan budaya yang ada di Tallo. Dia berharap, gaungnya akan membesar melalui publikasi di berbagai platform digital. Ini juga momen untuk mendokumentasikan praktik-praktik tradisi yang hidup di masyarakat Tallo.
Workshop ini diiikuti sejumlah lembaga dan komunitas. Mereka yang rerata merupakan milenial dan Gen Z, berasal dari Ruang Abstrak Literasi, Ikatan Pemuda-Pemudi Mangarabombang (IPPM), Indonesia’s Sketcher (IS) Makassar, Tanah Indie, dan Forum Anak Makassar (FAM).
Juga ada peserta dari UKM Seni Pancoran UKIP Paulus, Jurnal Celebes, dan Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Pendidikan Sejarah UNM. Selain itu ada Kerukunan Keluarga Putra-Putri Tallo, Karang Taruna Kecamatan Tallo, perwakilan warga Gampancayya dan perwakilan warga Mangarabombang, Tallo. (*)