MAKASSAR, EDELWEISNEWS.COM – Ada yang berbeda saat pelaksanaan Jumat Ibadah di SD Inpres Cilallang, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar, Jumat (17 November 2023). Siswa lelaki yang biasanya mengenakan gamis, hari itu akbidak (bahasa Makassar) atau menggunakan sarung.
Darmawati, S.Pd.I, guru Pendidikan Agama Islam (PAI) untuk kelas 1-6B mengatakan, bahwa anak-anak mengenakan sarung atau akbidak untuk mengimplementasikan inovasi PUSAKA yang sedang digalakkan di SD Inpres Cilallang. Salah satunya, melalui pembiasaan siswa yang mencerminkan kearifan lokal.
PUSAKA merupakan akronim dari pelestarian budaya, bahasa, keaksaraan dan sastra daerah. Kepala UPT SPF SD Inpres Cilallang, Dra Hj Hasniah, sudah mencanangkan PUSAKA sebagai inovasi sekolahnya. Tujuannya agar anak-anak mempraktikkan kembali nilai budayanya sebagai bagian dari pendidikan karakter.
“Jadi saya menyampaikan kepada siswa laki-laki untuk memakai sarung (akbidak) pada saat pelaksanaan jumat ibadah setiap hari Jumat,” jelas Darmawati.
Informasi yang dibagikan lewat grup WhatsApp kelas masing-masing ini, dimaksudkan agar anak-anak tidak lupa atau bisa belajar memakai sarung dengan akbidak. Sarung memang merupakan budaya Indonesia yang sangat multifungsi.
Sejak dahulu, sarung digunakan sebagai busana saat sholat, apalagi saat Hari Raya Lebaran. Itu karena alasan praktis dan punya banyak corak dan warna. Sarung juga dipakai sebagai pakaian tradisional saat pesta pernikahan atau upacara adat. Sulawesi Selatan bahkan punya sarung khas yang disebut lipa sabbe, dengan bahan sutra.
Dalam banyak situasi dan aktivitas, masyarakat juga kerap sekali tampil dengan mengenakan sarung, baik laki-laki maupun perempuan. Sarung antara lain dipakai oleh ibu-ibu di pasar, juga oleh para nelayan.
Cara mengenakannya pun macam-macam, bisa dengan cara diselempang, dililitkan atau diikat di pinggang, bisa pula untuk membungkus badan ketika malam atau saat tengah kedinginan.
Saking banyaknya fungsi sarung sehingga ada yang berupaya membuat gerakan mempopulerkan sarung sebagai gaya urban, yang disebut “sarung is my new denim”. Hanya saja, belakangan keberadaan sarung tergeser oleh celana panjang atau busana lainnya. Akibatnya, tidak semua anak bisa mengenakan sarung dengan cara akbidak.
“Tabe, sebaiknya anak ta sudah diajari akbidak di rumah. Jadi pada saat di lapangan sekolah, masing-masing anak sudah bisa akbidak sendiri,” tambah Nurhaedah, S.Ag, guru PAI untuk kelas 1-6A.
Ditambahkan, ada sebagian anak yang sudah akbidak dari rumah. Ada pula yang baru memakai sarung saat di sekolah. Itupun masih ada beberapa anak yang salah dalam akbidak. Mereka melilitkan sarungnya, bukan dipakai atau gulung ke dalam.
Jumat Ibadah itu sendiri berjalan khusyuk. Dipimpin oleh Nurhaedah dan Darmawati, selaku guru agama Islam. Anak-anak, laki-laki dan perempuan, melantunkan salawat nabi, dilanjutkan sholat dhuha berjamaah, lalu zikir dan berdoa bersama. Imam sholat biasanya bergantian. Namun, pada Jumat kemarin, yang bertindak sebagai imam adalah Abbad Syam, murid kelas 4A.
Jumat Ibadah dimana siswa laki-laki mengenakan sarung ini mendapat dukungan dari guru dan beberapa orang tua. Mereka terlihat membantu siswa dalam memakai sarungnya untuk akbidak. Semua siswa bergabung dalam kegiatan Jumat Ibadah ini, baik dari SD Inpres Cilallang maupun SD Negeri Rappocini.
Darmawati menyampaikan, rencananya, untuk Jumat Ibadah berikutnya, akan ada pembelajaran membudayakan duduk bersila atau assulengka. Aktualisasi nilai budaya ini bagian dari program inovasi PUSAKA, yang jadi komitmen SD Inpres Cilallang. (*)