Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan)
Kedai kopi bukan sekadar tempat ngopi. Sejak pertama kali muncul di Konstantinopel, sekarang Istanbul, Turki, di tahun 1475, kedai kopi telah memainkan peran penting sebagai ruang pertukaran ide. Orang datang bukan sekadar untuk menyeruput secangkir kopi, tapi juga berbisnis, dan berdiskusi perihal politik, seni, dan sastra.
Aktivitas seni budaya di masa Kesultanan Utsmaniyah, kala itu, begitu hidup dan dinamis. Kedai kopi yang dalam bahasa setempat dinamakan Kahvehane, malah diakui sebagai “Sekolah Orang Bijaksana”. Badan PBB Unesco menyebut bahwa tradisi minum kopi di Turki memainkan peranan penting terkait acara-acara sosial (Tempo.co).
Silaturahmi dan Rekreasi
Saya sengaja membawa ingatan kita pada sejarah untuk menyampaikan bahwa kegiatan Jumpa Bicara Kesenian Setiap Bulan di Kedai Sahabat Kasumba, pada Selasa malam, 28 Januari 2025, bukan sesuatu yang ujug-ujug. Ada landasan historis-sosiologis mengapa perbincangan bertema “Gelisah, Diskusi, Solusi” di Pelataran Gedung Sao Panrita UNM, Parangtambung, itu dilakukan.
Meminjam istilah para komika, “ada keresahan” di kalangan para pelaku seni budaya. Keresahan dan–juga tentu saja–kerinduan untuk bersilaturahmi. Rimba, pemilik Kedai Sahabat Kasumba, yang seorang perupa, kerap kali menggunakan diksi ini. Sementara Bahar Merdu, sutradara teater, menyebut acara kumpul-kumpul yang sudah bulan ke-3 ini semacam kegiatan rekreasi.
Saya lalu mengintip pengertian rekreasi pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Diartikan bahwa rekreasi sebagai penyegaran kembali badan dan pikiran; sesuatu yang menggembirakan hati dan menyegarkan seperti hiburan, piknik.
Harus diakui, memang ada kegembiraan setiap kali bertemu, bertegur sapa, dan bersenda gurau dengan kawan-kawan satu frekuensi. Orang-orang yang punya interest dan spirit yang sama pada pemajuan kesenian dan kebudayaan.
Kegelisahan Kolektif
Kegelisahan, sebagaimana tema yang dibagikan lewat flyer dalam format digital, itu lalu coba dielaborasi. Salah seorang diantaranya adalah Is Hakim. Perupa ini tak hanya lantang menyampaikan pandangannya, tapi juga melakukan otokritik. Dia mengibaratkan aktivitas kesenian kita di Kota Makassar, beberapa tahun terakhir grafiknya bagai gergaji.
Suara paling vokal juga disampaikan terkait minimnya dukungan fasilitas dan anggaran terhadap para pelaku seni budaya. Paling kentara bisa dilihat pada tidak adanya gedung kesenian yang representatif di kota bertaraf metropolitan ini. Kondisi ini mirip suara-suara gaduh suporter sepak bola yang menuntut pembangunan stadion bagi kesebelasan kebanggaan, PSM Makassar.
Padahal pemerintah kota kerap mengklaim Makassar sebagai kota dunia. Sayangnya, gedung-gedung yang biasa digunakan untuk pertunjukan seni budaya masih merupakan peninggalan Belanda. Societeit de Harmonie, dan Gedung MULO, misalnya.
Pertukaran Gagasan
Maka diskusi yang dipandu Irwan AR ini menjadi sangat relevan. Mereka yang hadir mencoba memetakan masalah lalu mencari solusi atas problem yang dihadapi, sesuai kebutuhan seniman.
Elaborasi gagasan dan pertukaran ide terjadi dalam suasana yang dialogis dan demokratis. Sesekali terlontar celetukan, untuk memancing gelak tawa. Sebuah kedewasaan sikap yang ditunjukkan, walau dengan argumentasi yang sangat kritis.
Asmin Amin, aktivis Ornop yang bertumbuh di kalangan seniman, menawarkan formula strategi pelestarian dan pengembangan seni budaya. Menurut mantan anggota DPR RI itu, diperlukan 4 pilar dalam strategi advokasi pemajuan seni budaya.
Pertama, mendorong adanya lembaga payung bagi seniman dan budayawan yang independen; Kedua, adanya dukungan regulasi dan pendanaan bagi lembaga seni budaya; Ketiga, terpelihanya kantong-kantong seni budaya di masyarakat; dan keempat, terselenggaranya even seni secara reguler baik berupa festival maupun ritual-ritual lainnya.
Pintu Masuk
Obrolan yang dimulai sekira pukul 21.00 itu, sesungguhnya sudah menemukan pintu masuknya. Kegiatan ini mendapat support dari Andi Makmur Burhanuddin, anggota DPRD Kota Makassar, periode 2024-2029.
Ketua Fraksi PKB, yang akrab disapa Noval itu, merespons positif rencana kawan-kawan untuk menyampaikan aspirasi dan berdialog dengan fraksi yang punya 5 kursi di DPRD Kota Makassar tersebut.
Anggota dewan yang punya DNA seniman itu menyadari pentingnya membangun perspektif yang sama. Biar mereka di fraksi bisa membawa wacana dan rekomendasi kalangan seniman ini di alat kelengkapan dewan, sesuai tupoksinya.
Diskusi formal yang ditutup pada pukul 23.45 wita itu, tidak membuat kawan-kawan lantas meninggalkan lokasi. Saya masih berbincang dengan Irwan AR dan Andri.
Saya flashback pada kerja-kerja advokasi di awal reformasi. Betapa tak mudahnya mencari sekutu dengan anggota legislatif. Berbagai strategi lobi dan jejaring dilakukan untuk mendorong perubahan kebijakan publik terkait isu tertentu.
Advokasi yang sama alotnya juga dilakukan terhadap eksekutif. Para aktivis melakukan pengorganisasi pada akar rumput untuk mendorong perubahan. “Partisipasi” dan “transparansi” pada masa itu belum menjadi kosakata yang familier.
Mereka di legislatif dan eksekutif masih kerap berlindung di balik “dokumen negara” dan “rahasia negara”, bila kita bicara APBD dan Ranperda. Beruntung bahwa kita bisa memainkan opini publik melalui media massa. Koalisi aktivis dan jurnalis efektif sebagai pressure group.
PR Peta Jalan
Kini, komunikasi, relasi dan pertemanan sudah kita miliki. Beberapa di antara kita punya akses ke pimpinan dewan, baik level kota maupun provinsi. Ada yang bisa langsung berbicara dengan kepala daerah terpilih. Sengat kolaborasi sudah dimiliki bersama.
Lalu, tinggal apa lagi? Konsep, strategi, program. Mungkin juga semacam peta jalan atau pengarusutamaan kesenian berbasis nilai budaya Sulawesi Selatan.
Malam itu, saya meninggalkan Sao Panrita dalam suasana hati yang semringah. Lampu-lampu hias terlihat berpendar indah di pelataran yang ditumbuhi pohon kersen itu. Langit Makassar tampak berbintang. (*)