Oleh : Arif Susanto
SUMPAH Pemuda 28 Oktober 1928 ialah suatu tindakan membangun kesesuaian antara politik dan kebudayaan, yang kemudian memberi sumbangan penting bagi gagasan nasionalisme Indonesia. Dari para pelopor, kita mewarisi suatu nasionalisme Indonesia, yang hidup bernapaskan kebebasan dan keberagaman. Kini, ketika radikalisme dan sikap-sikap ekstrem mengancam, negara berkewajiban merawat kebangsaan Indonesia agar tidak luruh meranggas oleh hasrat dominasi.
Gagasan Indonesia
Adalah nasionalisme, kata Ernest Gellner (1983:43), yang menjadikan kebudayaan dan politik itu kongruen. Nasionalisme memberi payung politik pada kebudayaan dan menyuntikkan legitimasi pada keterkaitan keduanya. Di dalamnya, akar-akar sosial dipadukan menjadi seperangkat referensi yang koheren lewat suatu proses politik. Inilah yang kemudian mengikat diri dan nasion.
Menilik nasionalisme Indonesia, seusai perang Aceh pada 1904, hampir seluruh wilayah yang kini menjadi bagian Indonesia telah berada di bawah dominasi pemerintah kolonial Belanda. Pembaruan administrasi pemerintahan oleh Gubernur Jenderal van Heutsz semakin mengukuhkan dominasi tersebut. Namun, penyatuan administratif tersebut tidak mengatakan apa pun tentang spirit kebangsaan Indonesia.
Selanjutnya, pendidikan membuka pertautan budaya. Sejak diperkenalkannya pendidikan formal bagi golongan pribumi pada pertengahan abad XIX, penggunaan bahasa Melayu semakin meluas. Kedua proses tersebut bermakna signifikan bagi pembentukan identitas bersama, menimbang bahwa pembatasan akses pendidikan dan penggunaan bahasa berkelindan dengan segregasi sosial.
Selain itu, nasionalisme Indonesia mendapatkan energi asalinya dari perlawanan penjajahan. Ketika fajar budi menyingsing awal abad XX, kesadaran baru tentang kebebasan dan kebangsaan berjangkit.
Radikalisasi perlawanan, melalui pendidikan politik dan pengorganisasian massa, seperti mula-mula dijalankan Indische Partij, berkontribusi mempercepat pembangunan kesadaran kebangsaan.
Selanjutnya, gagasan tentang Indonesia menjadi kian berisi. Tak sekadar nama, yang bahkan telah dimunculkan oleh pengelana Inggris George Samuel Windsor Earl pada 1850, Indonesia bertransformasi menjadi gagasan politik. Gagasan tentang suatu entitas yang tidak seragam dan dipersatukan imajinasi bersama menyangkut kedaulatan dan kesejahteraan yang telah dirampas penjajahan.
Melampaui batas-batas yang lebih primordial, para pemuda dari Sulawesi, Sumatra, Jawa, Maluku, dan lainnya menegaskan suatu pijakan baru identitas pada 28 Oktober 1928. Di rumah kos milik Sie Kong Liong, Kramat Raya 106 Jakarta, mereka bersepaham tentang satu Indonesia sebagai tumpah darah dan Tanah Air mereka. Inilah ekspresi politik untuk melahirkan referensi diri yang koheren sekaligus modern.
Gagasan tentang Indonesia tidak berpretensi mengancam dan tidak eksklusif (Elson, 2008:65). Merangkul kemajemukan, keindonesiaan tidak menelan tambatan identitas yang lebih primordial. Tidak pula mempertentangkan secara antagonistis pandangan yang berlainan. Dalam kerangka pikir yang kosmopolit itu, Indonesia, sebagaimana pandangan Soekarno, ialah suatu negara ‘semua buat semua.’
Kebebasan dan keberagaman
Selain melawan penjajahan, kerja besar para pendiri negara ialah membentuk struktur sekaligus muatan Indonesia merdeka. Tidak dibangun sekadar bersandar romantisisme kejayaan lampau Nusantara. Gagasan Indonesia diperlengkapi orientasi masa depan pada kemampuan negara untuk bertahan sebagai entitas yang berdaulat dan bersungguh mengupayakan perbaikan kehidupan bersama.
Di hadapan Majelis Pengadilan Den Haag yang mendakwanya sebagai penghasut pada 1928, Hatta tidak hanya mengutuk penjajahan. Hatta lebih lanjut mendorong politik autoaktivitas yang menuntut suatu kesadaran politik rakyat demi perwujudan kebebasan dan kesejahteraan. Kedaulatan rakyat terus menjadi pusat perhatian dalam pemikiran Hatta, bahkan setelah Indonesia merdeka.
Demikian pula pada 1930, di hadapan Majelis Pengadilan Kolonial di Bandung, Soekarno nyaring menggugat penjajahan yang menguras sumber daya Indonesia. Soekarno kemudian berfokus pada perkara nasionalisme yang dipandangnya menjadi nyawa aksi politik dan perjuangan kemerdekaan. Kebangsaan Indonesia ialah hal pertama yang disebut Soekarno saat merumuskan dasar negara.
Gagasan nasionalisme Indonesia bukanlah kulminasi leburnya identitas-identitas minor ke dalam suatu identitas mayor; tidak pula ia mengekspresikan kebencian terhadap yang berbeda. Nasionalisme Indonesia merupakan suatu pandangan yang mengandung paradoks persatuan dalam keberagaman. Ia tidak mengungkung, tetapi membebaskan; ia tidak merundung, tetapi menyejahterakan.
Setelah menjadi bagian penting pembentukan nasionalisme Indonesia, ironis bahwa kebebasan dan keberagaman terus-menerus mengalami penggerusan pada beberapa masa terakhir. Kepentingan sepihak dan sesaat memberi motif irasional pada kekuatan-kekuatan yang bernafsu melumat keberagaman, membenci perbedaan, termasuk dengan cara menunggang kebebasan.
Seolah lupa bahwa kebencian serupa pernah menghanguskan kebersamaan, para demagog terus mereproduksi ketakutan terhadap keberagaman. Kalangan radikalis pun menolak otoritas negara dan menyerukan kekerasan sembari mengabaikan bahwa negara ada bukan hanya untuk kelompok tertentu. Hal ini memberi tantangan serius bagi solidaritas kewarganegaraan dan kapabilitas pemerintahan.
Sementara itu, proyek pembangunan kebangsaan Indonesia belum kunjung usai, negara berkewajiban untuk terus merawat kebebasan dan keberagaman. Selain memberi napas bagi kebersamaan, perlindungan keduanya penting untuk memastikan warga negara leluasa mengejar nilai-nilai dalam kehidupan mereka. Jika negara abai, barangkali kita akan menangisi meranggasnya taman sari kebudayaan Indonesia menjadi hamparan ilalang kering, yang rentan dihanguskan hasrat dominasi.
Penulis adalah Analis Politik Exposit Strategic, Pegiat Lingkaran Jakarta.