
Oleh : Asep Salahudin
PERNYATAAN MUI Jatim yang kemudian disetujui MUI Pusat berkaitan dengan ungkapan salam lintas agama yang sebaiknya ditinggalkan dalam sebuah acara, menunjukkan bahwa lembaga keagamaan ini dalam lima belas tahun terakhir semakin menampakkan wajah yang kian puritan.
MUI yang notabene wadah berkumpulnya semua ormas Islam seharusnya mengembangkan sikap keagamaan yang inklusif dan mampu menjadi jembatan, yang mana tindakan negara mendapatkan basis legitimasi religiositasnya dalam membentangkan jalan politik yang lapang dan terbuka. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan semestinya menjadi halaman muka yang memberikan gambaran bahwa cara beragama masyarakat Nusantara yang multikultural berwatak santun dan ramah.
Simbolisme salam
Bagi saya, disampaikannya ragam salam dalam sebuah acara formal melambangkan lima kearifan tersembunyi. Pertama, ekspresi keberagamaan masyarakat Indonesia yang kuasa keluar dari jerat eksklusivisme buta. Kedua, sebuah ikhtiar untuk semakin mengukuhkan hubungan harmonis antarumat beragama.
Ketiga, menyimbolkan sikap positif betapa masyarakat kita memiliki kesanggupan konstruktif untuk memformulasikan ajaran agamanya secara kontekstual dan membumi. Keempat, sebagai rute untuk mengukuhkan inklusi sosial, yang mana perbedaan agama justru menjadi alasan untuk saling menghargai, merawat, dan mengakui keunikan masing-masing dalam sebuah persaudaraan yang autentik. Kelima, menurunkan kerja dialog agama pada tingkatan praksis yang bisa dipahami publik.
Kalau politik sering kali berujung pada perpecahan, baik karena visi yang berbeda maupun kepentingan yang tidak bisa dicarikan titik temu yang menyenangkan kedua belah pihak, aneka ucapan salam sejatinya ialah counter culture, sekaligus tausiah teologis yang mengingatkan bahwa kesejahteraan dan damai kasih merupakan tali rohaniah yang menjadi ikatan batin antara kita. Bahwa keselamatan dan saling menyelamatkan merupakan modus utama kelahiran setiap agama.
Dalam konteks bernegara, salam sesungguhnya menjadi mukadimah agar kita satu sama lain bisa mengembangkan etik gotong royong yang disebut-sebut Bung Karno sebagai sumbu Pancasila (ekasila). Gotong royong hanya bisa dilakukan ketika melibatkan salam, kedamaian, kesejahteraan, karahayuan, dan kasih sayang. Mengucapkan salam merupakan membuka dada masing-masing dalam intensi doa kepada Tuhan Yang Maha Esa, kiranya berkenan menginjeksikan ketenteraman dan kedamaian, baik dalam level personal maupun kebangsaan.
“Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini bersama-sama! Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis kuntul baris buat kepentingan bersama! itulah gotong royong!”
Khitah salam
Pernyataan MUI bahwa Allah murka ketika menyampaikan doa dan salam kepada mereka yang berlainan keyakinan bukan hanya serampangan, melainkan juga tak memiliki pijakan etik mendasar, baik dari firman Tuhan maupun tradisi kenabian. Sekian ayat Alquran justru menyerukan kita agar menebarkan damai kasih kepada seluruh alam. Penggalan hidup Kanjeng Nabi menunjukkan bagaimana manusia mulia itu menampilkan citra dirinya.
Sejarah juga mencatat, berapa nubuat yang tidak pernah lelah digemakan Kanjeng Nabi, yang tidak lain ialah kehendak terciptanya relasi antarmanusia yang diikat kasih sayang, dilandaskan pada semangat tolong menolong, dan kebersamaan tanpa dibatasi sekat sosial, rasial, bahkan perbedaan agama sekalipun, sebagaiamana yang tercatat dalam beberapa riwayat Bukhari menarik ini;
“Kamu tidak bisa menjadi muslim sejati sampai kamu mendoakan orang lain apa yang ingin kamu dapatkan” atau, “Yang paling baik di antara manusia adalah orang yang melakukan kebaikan kepada manusia lain”. Di lain kesempatan diserukan, “Berbuat baiklah kepada seluruh makhluk hidup, maka Allah akan berbuat baik kepadamu.”
Di lain waktu, tatkala Nabi sebagai sosok yang diagungkan dicaci maki seorang Yahudi dengan mengumpat “assammu’alaikum” (celaka bagimu), Nabi dengan muka bercahaya menyahut “wa ‘alaikum”. Istrinya, Siti Aisyah, mencaci balik dengan cacian yang lebih tajam, “Assammu ‘alaikum wa la’natuh” (bagi kamu kecelakaan dan laknat-Nya). Lalu, Nabi menegur, “Jangan berlebihan, istriku.” Kemudian Siti Aisyah menjawab, “Saya marah karena engkau telah dihina wahai Rasul,” sahut Aisyah, “Tapi aku telah menjawab setimpal dengan wa ‘alaikum (bagimu juga),” ujar Nabi
- Penulis adalah Wakil Rektor IAILM Suryalaya Tasikmalaya