Oleh : Rusdin Tompo
Kampus sebagai institusi ilmiah menjalankan peran cukup sentral selama penyelenggaraan Pemilihan Umun (pemilu) tahun 1999. Salah satu yang paling saya ingat, sebagai seorang reporter radio, yakni tingginya atensi masyarakat kampus untuk terus mengawal transisi demokrasi pasca lengsernya Presiden Soeharto. Bentuk partisipasi yang ditunjukkan berupa keterlibatan mereka dalam lembaga-lembaga pemantau independen.
Ada dua lembaga pemantau pemilu dari dunia kampus, saat itu. Pertama, UNFREL, kepanjangan dari University Network for Free Election, terbentuk pada 5 Oktober 1998. UNFREL ini merupakan jaringan pemantau pemilu yang dipelopori oleh kalangan dosen dan mahasiswa seluruh Indonesia. Advokat senior, Todung Mulya Lubis, terpilih sebagai koordinator UNFREL yang pertama.
Ada 14 universitas tergabung dalam organisasi ini, dengan 100 ribu relawan yang tergabung di dalamnya. Mereka tersebar di 22 dari 27 provinsi, yang aktif memantau setiap tahapan pemilu.
Kedua, Forum Rektor Indonesia (FRI), diinisiasi oleh Rektor Universitas Trisakti dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Ide lembaga ini tercetus setelah pelaksanaan konferensi rektor yang dihadiri 174 rektor se-Indonesia di Bandung pada tanggal 7 November 1998. Forum Rektor didukung 200an ribu relawan dari kalangan mahasiswa.
Pada pertemuan di Bandung itu, dihasilkan lima kesepakatan (amranrazak.com). Pertama, para rektor akan selalu bersama mahasiswa dalam gerakan reformasi sebagai kekuatan moral dan intelektual. Kedua, para rektor meminta ABRI memberikan perlindungan kepada mahasiswa yang menjalankan perannya sebagai kekuatan moral dan intelektual. Ketiga, pemilu hendaknya dilakukan secara luber dan jurdil dan civitas academica bersedia menjadi pemantau independen. Keempat, perlunya independensi yudikatif terhadap eksekutif agar semua keputusan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan reformasi dihapus. Kelima, perlunya reformasi budaya yang diawali oleh reformasi pendidikan secara komprehensif dan berkesinambungan untuk melancarkan reformasi secara menyeluruh.
Salah seorang inisiator Forum Rektor, yakni Prof Thoby Mutis, Rektor Universitas Trisakti, Jakarta. Beliau dikenal sebagai tokoh yang menanamkan nilai-nilai kebangsaan, demokrasi dan HAM. Lewat Forum Rektor, kampus bisa berkoordinasi dan berkolaborasi dalam menciptakan iklim pendidikan tinggi yang unggul (mediaindonesia.com).
Dari Sulawesi Selatan, tokoh Forum Rektor, antara lain Prof Radi Abdullah Gany (Rektor Unhas, periode 1997-2003) dan Prof Amran Razak (Wakil Rektor 3 Unhas). Forum Rektor Korwil Sulawesi Selatan melibatkan sekira 14 perguruan tinggi, ditambah kampus-kampus di kabupaten. Tak kurang 14.000 mahasiswa dilibatkan dalam memantau pemilu, saat hari “H” pencoblosan, tanggal 7 Juni 1999.
UNFREL dan Forum Rektor, ada KIPP yang lebih dahulu terbentuk, dan punya pengalaman memantau penyelenggaraan pemilu 1997. Dinamika politik dan demokrasi di Tanah Air, rupanya menjadi daya tarik sejumlah negara Eropa yang tergabung dalam Observation Unit European Union. Ada 15 perwakilan negara di situ, antara lain, Jerman, Inggris, Prancis, Italia, dan Belanda (rumahpemilu.org).
Belum lagi keterlibatan lembaga-lembaga pemantau pemilu internasional, seperti The National Democratic Institute (NDI), The Carter Center, dan Asia Network for Free Election (ANFREL). Selain itu, ada National Citizen Movement for Free Elections (NAMFREL), dan International Republican Institute (IRI). Indonesia, kala itu, benar-benar menjadi pusat perhatian dunia internasional.
Dalam pemilu 1999 ini, terdapat 48 partai peserta pemilu, yang memperebutkan suara rakyat untuk bisa duduk di DPR RI, DPRD Tingkat I Provinsi, dan DPRD Tingkat II Kabupaten/Kota. Regulasi pemilu merujuk pada beberapa undang-undang (UU), seperti UU No 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, UU No 3 tentang Pemilihan Umum, dan UU No 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (www.kpu.go.id).
Presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pelaksana pemilu, yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. KPU ada di pusat hingga di daerah, bahkan di luar negeri. Keanggotan KPU terdiri atas perwakilan parpol peserta pemilu, unsur pemerintah, dan tokoh-tokoh masyarakat. Panitia Pengawas Pelaksana Pemilu (Panwaslak Pemilu), kala itu, masih bersifat ad hoc.
Saya kadang berperan ganda, melakukan peliputan, sekaligus mengikuti pelatihan, atau sebaliknya, ikut pelatihan sembari meliput. Manfaatnya, jejaring ke narasumber terbuka, dan materi pemberitaan beragam. Secara pribadi, kami dari kalangan jurnalis juga dapat kursus politik, lalu mengolahnya sebagai program acara yang kental literasi politik.
Fenomena baru dalam proses demokrasi kita selama pelaksanaan pemilu 1999, tentu saja menjadi daya tarik liputan bagi saya, dan bagi kami di Radio Bharata FM. Wawancara dengan pelaksana, dari unsur KPU dan Panwaslu dilakukan, juga dengan para pemantau pemilu independen. Suara-suara warga juga direkam, bukan hanya kalangan elite yang jadi tampilkan.
Meski pemilu pertama di era reformasi ini dilaksanakan dalam semangat luber dan jurdil, tapi praktik politik uang (money politic) masih ditemukan. Intimidasi terhadap pemilih dan penyelenggara juga masih terjadi. Namun, secara keseluruhan penyelenggaraan pemilu 1999 berlangsung aman dan lancar. (*)
Makassar, 14 Februari 2024