Memahami Fungsi Penilaian

0
381

Syamsir Alam, Divisi Pengembangan Kurikulum dan Penilaian Yayasan Sukma

PENGHAPUSAN Ujian Nasional (UN) merupakan isu yang paling ramai diperbincangkan pada setiap bergantian menteri pendidikan. UN dituduh telah menyebabkan terjadinya peningkatan kecemasan pada siswa, orangtua, dan pengelola pendidikan.

UN juga dipersalahkan karena telah ikut memenjarakan kreativitas guru dan siswa. Guru mengajar hanya bahan yang akan diujikan (teaching to test), sedangkan siswa sibuk mengerjakan latihan soal-soal UN sehingga proses pembelajaran menjadi kurang autentik, genuine, dan tidak relevan dengan kebutuhan kekinian. Lebih dari itu, UN telah menyebabkan merosotnya nilai-nilai kejujuran, etos kerja, dan kemandirian belajar pada siswa.

Semua cerita tentang UN hanya yang berkaitan dengan dampak psikologi siswa, administrasi, dan ekonomi, bukan pada substansi materi tes, keadilan tes, dan implikasinya pada kurikulum dan peningkatan mutu pendidikan nasional. Sumbangan UN terhadap peningkatan kualitas pengelolaan pendidikan pada tingkat sekolah dan pemerintah daerah tertutup untuk didiskusikan.

Ironisnya, semua tuduhan di atas belum pernah diteliti kebenarannya secara mendalam, komprehensif, dan dengan menggunakan metodologi yang sesuai (appropriate). Jika ada, studi yang dilakukan sebatas melihat persepsi masyarakat terhadap peristiwa UN.

Peran penilaian

Ujian sering dikaitkan dengan kegiatan pengukuran hasil belajar yang bersifat kuantitatif, bersifat angka dengan metodologi yang rigid. Sebaliknya, penilaian ditafsirkan dengan makna yang lebih longgar, tidak hanya kuantitatif, tapi juga kualitatif.

Pemahaman itu tidak sepenuhnya benar karena kedua perisilihan di atas sering digunakan secara bergantian untuk mengetahui keberhasilan proses pembelajaran baik pada tingkat kelas, sekolah, nasional, atau internasional (large scale assessment), seperti pada PISA/TIMSS.

Penilaian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sebuah kegiatan pembelajaran. Dalam skala mikro, ruang lingkup kelas, kegiatan penilaian dapat dikatakan sahih apabila instrumen yang digunakan mampu mengukur/menilai sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diselenggarakan.

Dalam lingkup sekolah, terkait dengan aktivitas pembelajaran, penilaian bisa dikelompokkan menjadi penilaian formatif dan penilaian sumatif. Penilaian formatif bertujuan memperbaiki proses pembelajaran yang diselenggarakan dan seharusnya akan dapat membantu siswa dalam belajar (lebih baik).

Penilaian formatif itu dikerjakan guru pada sepanjang kegiatan pembelajaran sehingga kemajuan belajar setiap individu siswa terekam dengan baik dan permasalahan yang dihadapi siswa bisa segera diketahui dan ditemukan solusinya. Penilaian formatif ini dalam perkembangannya disebut sebagai assessment for learning (AFL).

Sebagaimana dikemukakan Nitko (2007), ‘Assessment for learning is an extension of the old concept originally set out by Bloom called “formative assessment for students.” The main idea is that we deliberately design assessment procedures so the results can help us teach students and improve their learning’.

Dalam penilaian formatif, guru memberikan umpan-balik pada siswa tentang bagaimana meningkatkan belajar mereka, dan guru juga menggunakan hasil penilaian untuk menyesuaikan proses pembelajaran sesuai dengan kebutuhan siswa agar diperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap mata pelajaran (subjek) yang diajarkan.

Jadi, guru akan menganalisis kesalahan siswa dalam belajar/memahami konsep (mata pelajaran) yang diajarkan sehingga guru bisa memberikan bimbingan sepatutnya, apa yang perlu dilakukan siswa untuk memperbaikinya, atau guru juga dapat menggunakan rubrik penilaian untuk menggambarkan berbagai tingkat pembelajaran suatu tugas.

Guru dapat menganalisis hasil penilaian kelas untuk melihat bagian konten mana siswa dalam kelas yang paling banyak bermasalah dan kemudian mengatur pengajaran perbaikan (remedial teaching). Dengan analisis ini, guru dapat menemukan cara lain untuk menggunakan hasil penilaian guna membantu siswa dalam belajar lebih baik.

Penilaian sumatif, menurut Nitko (2007), digunakan untuk menentukan tingkat pencapaian belajar siswa, memberikan nilai/skor (assigning grade/mark), dan hasilnya tidak digunakan untuk kepentingan lain, kecuali sebagai buku rapor (except report) siswa. Penilaian sumatif diselenggarakan pada akhir semester/tahun untuk keperluan kenaikan dan/atau akhir jenjang pendidikan untuk kepentingan kelulusan sekolah/jenjang pendidikan.

Penilaian berskala besar (standardized tests) jika ditinjau dari pemanfaatan hasilnya, dikelompokkan menjadi penilaian yang beracuan normatif (norm-referenced assessment), yaitu kegiatan penilaian yang ditujukan untuk menentukan peringkat/membandingan pencapaian (attainment) siswa atau kelompok siswa dalam suatu sekolah, kota, negara, dan membandingkan pencapaian siswa antarnegara, seperti pada PISA, PIRLS, dan TIMSS.

Penilaian yang beracuan kriteria (criterion-referenced assessment), keberhasilan siswa dibandingkan dengan kriteria atau domain skills pada kurikulum atau acuan yang ditetapkan sesuai dengan kepentingan diselenggarakannya ujian/penilaian itu.

Kritik pada penilaian standar

Penilaian standar semacam UN dirancang untuk mengukur prestasi siswa. Tapi, ada item tes yang mungkin tidak terkait dengan apa yang sudah diajarkan di sekolah. Sering kali soal tes yang digunakan lebih mengutamakan kesesuaian dengan konten kurikulum ketimbang melibatkan pertanyaan berpikir tingkat tinggi (HOTS).

Status sosial ekonomi keluarga siswa (SES) dapat memengaruhi jawaban soal yang dipilih siswa. Selain itu, banyak soal mengukur kemampuan verbal, kuantitatif, atau spasial yang peluang untuk menjawab dengan benar hanya dimiliki siswa yang kemampuannya (bakat) diperoleh sejak lahir (Popham: 2001).

Penilaian skala besar yang terstandar sering hanya mengukur apakah siswa dapat mengingat atau mengenali informasi atau menyelesaikan tugas untuk menunjukkan materi pelajaran sudah dipelajari. Proses itu membatasi ekspresi pengetahuan siswa. Siswa hampir tidak punya kesempatan untuk dapat menjelaskan alasan pilihan mereka (Wiggins, 1990).

Selain itu, siswa perlu diukur kemampuannya dalam memilih dan menyeleksi pengetahuan dan informasi yang sudah dipelajari, menafsirkannya, dan menghubungkannya dengan bidang lain. Juga penting untuk mengukur apakah siswa dapat mengatur, mengkonstruk, dan menggunakan informasi dalam konteks untuk memecahkan masalah yang kompleks (Dietel, Herman dan Knuth: 1991).

Diskusi tentang UN seharusnya tidak direduksi menjadi sebatas efek psikologi siswa dalam menghadapi UN. Persoalan ini penting, tapi masalah substantif di atas seharusnya mendapat porsi yang besar untuk didiskusikan dan diteliti.

Penilaian merupakan bagian yang terintegrasi dalam program pendidikan. Betul, penilaian tidak dapat memengaruhi kualitas pendidikan secara langsung. Tapi, program pendidikan tidak akan bisa diketahui kualitas dan kemajuannya tanpa penilaian.

Penilaian yang dirancang dengan baik itu ibarat sebuah cermin. Dengan berkaca saja pasti tidak akan bisa membuat wanita lebih cantik, tapi cermin bisa menunjukkan/menginformasikan bahwa kosmetik yang dipilih/digunakan sudah sesuai atau belum dengan kulit wajahnya. Jadi, ia bisa mengambil tindakan yang lebih baik jika memang diperlukan penyempurnaan. Wallahu a’lam bishawab.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini