Oleh : Dr. Sudirman, S.Pd,M.Si
(Pengajar Sosiologi Pendidikan)
“Perubahan kurikulum merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat”.
Kurikulum dari masa ke masa
Secara historis, mengganti kurikulum bukanlah solusi untuk memutus permasalahan pendidikan di negeri ini. Usaha pergantian kurikulum sudah dilakukan berulangkali. Di orde baru saja ada banyak kurikulum yang diterapkan mulai dari Kurikulum 1975, kemudian Kurikulum 1984, kurikulum 1994. Sementara, di era reformasi ada Kurikulum 2004 yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), sampai yang terakhir adalah Kurikulum KTSP. Semuanya bisa dikatakan gatot alias gagal total. Munculnya kurikulum, dan pergantian kebijakan adalah karena setiap Menteri Pendidikan baru maka kebijakannya juga baru.
Embrio lahirnya Kurikulum 13, merupakan metamorfosa dari berbagai perubahan kurikulum, perkembangan kurikulum dari waktu ke waktu, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, dan 2013. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya. Perubahan kurikulum tersebut tentu disertai dengan tujuan pendidikan yang berbeda-beda, karena dalam setiap perubahan ada tujuan tertentu yang ingin dicapai untuk memajukan pendidikan nasional.
Perubahan kurikulum di dunia pendidikan Indonesia beserta tujuan yang ingin dicapai. Kurikulum 1947 – Kurikulum 1950 (rencana pembelajaran). Kurikulum pertama pada masa kemerdekaan namanya Rencana Pelajaran 1947. Ketika itu penyebutannya lebih populer menggunakan leer plan (rencana pelajaran) ketimbang istilah curriculum dalam Bahasa Inggris. Rencana Pelajaran 1947 bersifat politis, yang tidak mau lagi melihat dunia pendidikan masih menerapkan kurikulum Belanda, yang orientasi pendidikan dan pengajarannya ditujukan untuk kepentingan kolonialis Belanda, dan baru diterapkan pada tahun 1950. Oleh karena itu Rencana Pelajaran 1947 sering juga disebut kurikulum 1950. Susunan Rencana Pelajaran 1947 sangat sederhana, hanya memuat dua hal pokok, yaitu daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, serta garis-garis besar pengajarannya. Rencana Pelajaran 1947 lebih mengutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara, dan bermasyarakat, daripada pendidikan pikiran.
Kurikulum 1952 (Rencana Pelajaran Terurai) setelah Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini, bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
Masa Kurikulum 1968. Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama.
Sementar kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manajemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu. Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah Satuan Pelajaran, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi.
Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
Kurikulum 1984 (Kurikulum CBSA). Kurikulum ini mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Kurikulum 1984 ini berorientasi kepada tujuan instruksional. Didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.
Lalu Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap, diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak. Tujuan pengajaran menekankan pada pemahaman konsep dan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah. Soal cerita menjadi sajian menarik disetiap akhir pokok bahasan, hal ini diberikan dengan pertimbangan agar siswa mampu menyelesaikan permasalahan kehidupan yang dihadapi sehari-hari.
Kurikulum 2004 (KBK). Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan (kompetensi), tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar performance yang telah ditetapkan. Competency Based Education is education geared toward preparing indivisuals to perform identified competencies (Scharg dalam Hamalik, 2000). Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu kurikulum berbasis kompetensi sebagai pedoman pembelajaran.
Kurikulum 2006 (KTSP). Pemberlakuan KTSP, sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL), ditetapkan oleh kepala sekolah setelah memperhatikan pertimbangan dari komite sekolah. Dengan kata lain, pemberlakuan KTSP sepenuhnya diserahkan kepada sekolah, dalam arti tidak ada intervensi dari Dinas Pendidikan atau Departemen Pendidikan Nasional. Dengan demikian diharapkan KTSP yang disusun akan sesuai dengan aspirasi masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tersebut dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah/ karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik.
KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Pelaksanaan KTSP mengacu pada Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulus.
Plus minus Kurikulum 2013( K-13)
Kurikulum 2013 sering disebut juga dengan kurikulum berbasis karakter. Kurikulum ini merupakan kurikulum baru yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Kurikulum 2013 merupakan sebuah kurikulum yang mengutamakan pada pemahaman, skill, dan pendidikan berkarakter. Siswa dituntut untuk paham atas materi, aktif dalam proses berdiskusi dan presentasi serta memiliki sopan santun dan sikap.disiplin yang tinggi. Kurikulum ini secara resmi menggantikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang sudah diterapkan sejak 2006 lalu.
Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang dirancang baik dalam bentuk dokumen, proses, maupun penilaian didasarkan pada pencapaian tujuan, konten dan bahan pelajaran serta penyelenggaraan pembelajaran yang didasarkan pada Standar Kompetensi Lulusan. Kurikulum ini menekankan pemahaman tentang apa yang dialami peserta didik akan menjadi hasil belajar pada dirinya dan menjadi hasil kurikulum. Oleh karena itu, proses pembelajaran harus memberikan kesempatan yang luas kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya, menjadi hasil belajar yang sama atau lebih tinggi dari yang dinyatakan dalam Standar Kompetensi Lulusan.
Secara umum Kurikulum 2013 menyisakan berbagai kekurangan. Pertama, Kurikulum 2013 bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 yang berisi tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini karena penekanan pengembangan kurikulum hanya didasarkan pada aspek orientasi pragmatis. Selain itu, kurikulum 2013 tidak didasarkan pada aspek evaluasi dari pelaksanaan system Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di tahun 2006, sehingga dalam pelaksanaannya bisa saja membingungkan guru dan pemangku pendidikan. Kedua, guru sebagai elemen penting tidak pernah dilibatkan langsung dalam proses upaya pengembangan Kurikulum 2013. Pemerintah justru melihat seolah-olah guru dan siswa tersebut mempunyai kapasitas yang sama. Ketiga, tidak adanya keseimbangan antara orientasi dari proses pembelajaran dengan hasil dalam Kurikulum 2013. Keseimbangan sulit dicapai, karena kebijakan pada Ujian Nasional (UN) masih juga diberlakukan. UN hanya mampu mendorong orientasi pendidikan pada hasil dan sama sekali tidak memperhatikan proses upaya pembelajaran. Hal ini akan berdampak pada dikesampingkannya subjek mata pelajaran yang tidak diujikan dalam UN tersebut. Padahal, mata pelajaran non-UN juga mampu memberikan kontribusi yang besar untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Keempat, pemerintah mengintegrasikan subjek mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) terhadap Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk level jenjang pendidikan dasar.
Bagaimana dengan keunggulan dari Kurikulum 2013 sendiri? Keunggulannya jelas mendorong pada aspek kreatifitas dan inovasi pada anak didik, sebagai upaya pengembangan karakter yang telah tertuang dalam program studi yang ada. Inilah yang dikatakan dengan pendidikan berbasis karakter. Tujuan mulia dari kurikulum pendidikan baru ini diharapkan bisa tercapai meskipun menyisakan berbagai masalah. Sistem yang selalu berganti menyisakan berbagai hal baik negative maupun positif. Hendaknya pemerintah mampu mengambil kebijakan terbaik yang minim risiko negative.
Berdasarkan evaluasi atas komponen-komponen tersebut, lalu muncul pertanyaan. Apa yang semestinya dilakukan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan tersebut? Apakah dengan cara mengubah lagi kurikulum? Ternyata, Menteri Pendidikan diera SBY, Muh. Nuh, terburu buru dan menerapkan Kurikulum baru K13, sangat prematur, layu sebelum berkembang.
Menurut penulis jika melihat sejarahnya, perubahan kurikulum tidak selalu menjadi satu-satunya solusi. Hal yang lebih penting adalah memperbaiki komponen-komponen pendukung pendidikan, seperti memfasilitasi proses peningkatan profesionalisme dan kompetensi guru, peningkatan kesejahteraan guru, penyediaan sarana dan prasarana sekolah yang memadai, dukungan dana yang optimal dari pemerintah terhadap pendidikan, memperpendek jarak kesenjangan kondisi pendidikan di daerah dan di perkotaan, serta sosialisasi kebijakan yang menyeluruh dari Kemendikbud.
Kompetensi dan cara pandang guru menjadi komponen yang paling penting untuk didahulukan. Sebab, secanggih apapun kurikulum dan sehebat apapun sistem pendidikan, tanpa kualitas guru yang baik, semua hal akan kembali mentah di lapangan dan menjadi sia-sia. Apalagi dalam sistem kurikulum yang terakhir, keberhasilan siswa sangat bergantung pada kreativitas sekolah (guru) dalam menyusun sistem pembelajaran bagi siswa.
Kita patut berharap kepada Presiden Jokowi, lewat Menristek Dikti, Nadiem Anwar Makarim. Kata Nadiem, kurikulum pendidikan di Tanah Air cenderung mengungkung. Presiden Joko Widodo menginginkan agar kurikulum di Indonesia bisa fleksibel mengikuti pesatnya perkembangan zaman. Yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah gerakan perubahan bukan sekadar kebijakan. Kemdikbud akan memfasilitasi gerakan perubahan tersebut. Mendikbud juga memperkenalkan konsep ‘Merdeka Belajar’.
Sekolah sifatnya dari mengawasi jadi melayani. Kemerdekaan guru bertransformasi (menjadi) kemerdekaan murid menentukan arah dan level yang cocok buat mereka. Konsep ini akan membutuhkan waktu implementasi yang lama, yaitu 10-15 tahun. Tapi dalam lima tahun ke depan, dalam masa pemerintahan Joko Widodo periode kedua, Nadiem meminta siapa saja bisa “berjalan lebih dulu” mewujudkannya. Semoga konsep ini menjadi titik terang bagi pendidikan di Indonesia, dan bukan hanya sebagai laboratorium percobaan. Semoga kebijakan ini merupakan hasil dari kajian yang sangat matang. Dan pendidikan kita jadi lebih maju. Yang harus dimulai dari pendidikan untuk Indonesia Hebat. Wallahu a’lam bishawab.