Oleh : Idrus F Shahab
(Mantan Wartawan Senior TEMPO)
Ketika jarak membentang antara das sein dan das sollen hampir-hampir tak terseberangi, kita pun berpikir tentang absurditas. Inilah yang kita dapati bila disparitas antara yang seharusnya dan kenyataannya itu muncul secara konsisten dalam esai-esai Andi Wanua Tangke.
Inilah kumpulan tulisan yang menggambarkan Indonesia yang tengah tersangkut dalam tarik ulur antara das sein dan das sollen. Sebuah negeri yang telah lepas dari otoritarianisme Orde Baru, namun reformasi seperti macet di tengah jalan–bahkan mundur dalam satu-dua aspek. Ironi tersebar dalam Cermin 2 ini. Sesuai dengan judulnya, untuk menangkap dengan baik absurditas itu, penulis Andi Wanua Tangke menyodorkan sebilah cermin untuk berkaca.
Tentu saja tidak semua pembaca merasa aspirasinya terwakili dengan kritik yang pedas itu. Apalagi jika topik pembahasannya menyangkut hal yang masih mengandung kontroversi tinggi, seperti Denny JA yang namanya masuk nomine Nobel Sastra 2022. Apa pun, yang jelas di luar itu Andi telah menawarkan pendapatnya sendiri dengan pendekatan yang menarik.
Andi seorang penulis yang baik. Cerpenis yang piawai. Bisa menggiring pendapat pembaca melalui pembicaraan-pembicaraan imajiner di kedai kopi. Pembicaraan di dalam esai-esainya antara si penulis dan tokoh “orang biasa” di dalam kumpulan esainya. Dengan cara ini, Andi bisa melukiskan ironi dengan baik. Memancing kontroversi lebih jauh. Bahkan menghibur pembacanya dengan ironi dan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.
Jakarta, 25 Juli 2022