Benteng Terakhir Desa Mahalona

LUWUTIMUR,EDELWEISNEWS.COM – Setelah mereguk secangkir kopi, orang-orang di Desa Tole punya kebiasaan meninggalkan rumah. Mereka ke kebun merawat tanamannya. Sekedar membersihkan atau memanen biji yang telah ranum. Rata-rata orang Tole punya puluhan pohon merica.

Desa Tole di jazirah Luwu Timur ini masihlah belia. Meski begitu telah berstatus desa definitif hasil pemecahan dari Desa Mahalona, Kecamatan Towuti. Bupati Luwu Timur Andi Hatta Marakarma pada Kamis 10 Januari 2018 lalu melantik Talha Malaka sebagai Kepala Desa. Bersama dengannya tiga desa baru juga ikut diresmikan.

Orang Tole, begitu mereka menyebut identitasnya bermukim di tepian Danau Mahalona. Di Kabupaten Luwu Timur, ada tiga danau purba yang telah terbentuk jutaan tahun silam. Yakni Danau Towuti, Danau Matano dan Danau Mahalona.

Danau Mahalona terletak di antara Danau Matano dan Towuti. Air dari Matanolah yang mengalir hingga ke Danau Towuti. Kontur berbukit menjadi ciri khas, karena ketiga danau ini bermukim di kawasan Pegunungan Verbeek yang berbatas langsung dengan Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.

Meski sebutannya orang Tole, nyaris tidak ada penduduk asli yang bermukim di kawasan ini. Di masa awal Kampung Tole, orang Pakaloa yang jadi penghuni. Mereka memang berserbrangan kampung.  Jaraknya tidak begitu jauh, namun untuk menempuhnya cukup memakan waktu karena jalanan yang baru.

Talha Malaka adalah salah satu keturunan Pakaloa yang kini menetap di Tole. Orang tuanyalah yang diperiode awal membuka lahan. Hingga sekarang, total ada 1071 penduduk dari tiga dusun yang ada di Tole. Yakni Dusun Tandumata, Tambuka dan Ponsoa. Mayoritas mereka adalah petani, buruh dan wiraswasta. Hanya ada dua orang Pegawai Negeri Sipil.

Meski bukan daerah tujuan transmigrasi, namun keberagaman etnis di Tole cukup terasa. Dengan mudah kita bisa menemukan penduduk berbahasa Jawa atau Bugis. Talha Malaka mengisahkan, kalau tidak sedikit penduduknya yang dahulu merupakan pelaku pembalakan liar. Mereka kemudian memilih tinggal setelah hutannya habis.

Sebagai kawasan hutan lindung, cukup ironis memang ketika mata memandang hanya ada kebun merica yang membentang. Padahal dulunya tempat ini rimbun dan makmur dengan kekayaan hutan yang melimpah. Maraknya pembalakan liar tidak lepas pula peran PT Vale Indonesia yang datang menambang nikel. Tersisa saat ini hanya Pegunungan Sumbitta yang belum dibongkar habis. Pegunungan ini jadi benteng terakhir Danau Mahalona dan Desa Tole dari marabahaya yang bisa hadir di kemudian hari. Penggalian untuk mengambil contoh tanah sudah dilakukan, namun masyarakat berharap tanah itu bisa dilepaskan. Tidak diganggu agar alam bisa tetap terjaga.

Daratan Baru

Tasman menyusuri Sungai Tole dengan perahu katinting menuju Danau Mahalona. Ia bukan bertujuan mencari ikan. Melainkan ke muara Sungai Timbalo. Air sungai ini berasal dari Danau Matano. Mengalir mengelilingi tepian Pegunungan Sumbitta. Di hulunya ada Bendungan Petea milik PT Vale Indonesia yang mengatur debit air untuk keperluan pembangkit listrik.

Sungai Timbalo berada di bagian utara sedikit ke timur Danau Mahalona. Wilayah di atasnya merupakan konsesi PT Vale Indonesia, termasuk Pegunungan Sumbitta yang berdiri kokoh. Sayangnya, seluruh permukaan Danau Matano merupakan Kawasan Hutan Konservasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Di sebelah selatan Danau Matano bahkan berjejer papan pengumuman dari Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan yang memuat imbauan agar menjaga lingkungan dan bahaya pencemaran. Di papan tersebut bahkan memuat SK Menteri Kehutanan Nomor: 6590/MENHUT-VII/KUH/2014 tertanggal 28 Oktober 2014.

Dari papan bertuliskan ‘Save water for better life’ tersebut kita masih melihat tepian Sungai Timbalo. Dimana tempat ini telah jadi daratan yang menampung sisa tanah hasil pengerukan tambang di PT Vale Indonesia.

Tasman berkata, di tempat itu ia dulunya sering menangkap ikan. Airnya jernih dan dalam. Namun sekarang, telah jadi daratan baru yang penuh lumpur halus. Menginjakkan kaki di muara Sungai Timbolo rasanya beda dengan muara sungai lainnya.

Rata-rata pesisir Danau Matano berkontur padat dan berkerikil hitam. Seperti di muara Sungai Laponsoa yang hilirnya dari perkebunan masyarakat. Padahal jarak antara Sungai Laponsoa dan Timbolo tidak begitu jauh. Bisa dikata malah bersebelahan. Hanya saja sumber airnya berbeda. Di daratan baru yang terbentuk dari sedimentasi muara Sungai Timbolo itu telah ditumbuhi banyak rumput. Orang lokal menyebutnya rumput pamenta semacam rumput koronivia yang berdaun tajam. Seluas satu lapangan bola daratan baru yang sudah terbentuk. Jika bediri di tempat itu kita bisa melihat keruhan air yang luasanya bisa tiga kali lapangan bola.

Banyak masyarakat yang takut mendatangi tempat ini karena sewaktu-waktu air bah bisa datang. “Kami tidak diinformasikan kapan bendungan itu dibuka, jadi selalu waspada,” kata Tasman merujuk pada PT Vale sebagai pemilik bendungan Petea.

Sialnya kata dia, karena tidak mendapat informasi, sering kali tanaman warga di sekitar sungai terkena dampaknya. Bahkan beberapa kali gagal total. Hingga akhirnya banyak yang mulai meningalkan sawahnya. Sebagian kawasan pembuangan air itu memang lahan konsesi PT Vale sehingga mereka selalu berkelip. Namun sedimentasi yang terjadi di Danau Mahalona merupakan dampak langsung dari tambang yang dilakukan Vale. Jika terus terjadi maka pembentukan daratan baru akan meluas. Wilayah permukaan Danau Mahalona seluas 2.289 hektar akan terus menyempit.

Apalagi memang telah terjadi pengurangan luasan sejak tahun 1979. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 274/Kpts/Um/4/79 ditetapkan luas Danau Mahalona 2.440 hektar. Dengan kondisi sekarang, permukaan Danau Mahalona telah hilang sebanyak 151 hektar. Sedimentasi di muara Sungai Timbolo akan menambah luas permukaan Danau Mahalona yang hilang.

Sebagian besar permukaan Danau Mahalona yang jadi daratan berada di muara Sungai Mata Buntu. Sebelah barat Sungai Timbalo. Kedua lokasi ini diselimuti Pegunungan Sumbitta. Di tempat tersebut telah banyak tumbuh kayu Tembeua. Semacam mangrove yang merupakan tanaman endemik di kawasan ini.   Sedimentasi yang kini jadi daratan luas itu berasal dari limbah pembuangan Vale. Hanya berjarak beberapa kilometer dari sana pabrik pengolahan nikel berdiri kokoh. Dulunya limbah langsung dibuang ke Danau Mahalona, namun sekarang mereka telah membuat danau buatan yang diberi nama Viona Dam di antara tiga pebukitan.

Jika melintas di depan pabrik Vale menuju Sorowako, Viona Dam terlihat jelas. Limbah pabrik semua ditampung di tempat itu hingga akhirnya jernih dan kemudian dialirkan ke Danau Mahalona melalui Sungai Mata Buntu. Namun bertahun-tahun tidak dilakukaan yang membuat daratan berhektar area itulah yang terbentuk.

Hal serupa juga terjadi di muara Sungai Timbalo. Sehingga jika Vale turut mengkeruk Pegunungan Sumbitta, tidak menutup kemungkinan separuh permukaan Danau Mahalona akan hilang. Padahal danau ini merupakan sumber kehidupan orang-orang di sekitarnya.

Mulai Hilang

Bertahun-tahun lalu penduduk Desa Tole punya kebiasaan masuk hutan. Mereka menyusuri setiap jengkal sudut rimba mencari penghidupan. Ada yang memanen getah damar hingga berburu kayu gaharu. Tapi sejak hutan habis ditebangi, kebiasaan ini mulai pudar.

Damarlah yang membuat banyak eksodus baru datang ke kewasan ini. Salah satunya penduduk Desa Mahalona yang mayoritas berasal dari Tana Toraja. Tapi mencari damar pulalah profesi yang paling tidak bisa bertahan di kawasan ini.

Indar, salah seorang tokoh masyarakat di Desa Mahalona berkeluh kesah. Bagaimana serakahnya sebagian masyarakat di tempat itu membuka lahan. Bahkan mengklaim pohon damar yang berada di dalam kawasan hutan lindung sebagai miliknya, karena telah dikelola oleh buyutnya puluhan tahun lalu.

Memiliki lahan di kawasan ini merupakan kebanggan. Apalagi jika kemudian tanah tersebut diambil alih perusahaan seperti Vale. Perusahan tambang yang masuk tidak segan-segan menggelontorkan uang yang banyak untuk memiliki lahan. Dan begitu, banyak masyarakat yang kemudian kaya mendadak.

Karena pohon damar sudah tidak banyak, mayoritas masyarakat di Desa Mahalona bercocok tanam. Tapi bukan tanpa hambatan. Karena berada dekat dengan Vale, tanaman mereka sering kali gagal panen akibat debu yang beterbangan.

“Kami memang tidak bisa menyimpulkan apakah debu tambang itu berbahaya atau tidak, tapi dampaknya cukup terasa di sini,” kata Indar yang ditemui di Sekertarian Forum Pemuda Mahalona Bersatu (FPMB).

Kesenjangan juga terlihat di kawasan ini. Menuju Desa Mahalona dari Desa Tole kita harus berkendara melawan ganasnya jalanan. Butuh waktu satu jam lebih untuk mencapai tempat ini. Sementara dari Ibu Kota Kecamatan Towuti ke Desa Tole harus ditempuh kurang lebih tiga jam. Dengan kondisi jalan yang tidak jauh berbeda. Padahal tidak jauh dari tempat mereka, jalanan berhotmix licin milik PT Vale setiap hari disibuki lalulalang kendaraan. “Kami hanya diberi akses masuk jika ada keadaan darurat, misal ada yang harus dirujuk ke Rumah Sakit,” kata Indar.

Berbicara tentang damar, Ilham L, masyarakat Desa Tole punya kisahnya sendiri. Sejak kecil ia sering diajak ayahnya masuk hutan untuk mencari damar. Bahkan di Pegunungan Sumbitta ia masih memiliki beberapa pohon damar.

Ia sangat berharap kawasan itu tidak dikelola PT Vale. Selain karena hutannya masih terjaga dan ia memiliki pohon damar di sana. Hutan itu kata dia merupakan sumber mata air bagi Danau Mahalona. Ada tiga sumber mata air dari Pegunungan Sumbitta yang ia ketahui.

“Kalau gunung itu dibabat habis, mata air itu juga akan terdampak,” katanya.

Air tanpa hutan maka akan cepat habis. Begitulah konteks kebutuhan dasar makhluk hidup. Sementara hutan tanpa air maka vegetasinya tidak akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Begitulah ekosistem bumi yang saling berhungungan dalam sistem besar yang berjalan ini.

Air tanpa hutan maka siklus hidrologi akan bergerak relatif cepat dan hal itu akan berdampak kurang baik pada sistem kehidupan makhluk hidup pada umumnya. Hal inilah yang mulai menimpa sebagian masyarakat di tepian Danau Mahalona.

Masyarakat mulai menyadari ada yang hilang dari siklus kehidupan mereka. Ilham contohnya. Ia mulai jarang menyantap ikan butini (Glosogobius matanensis) sebagai ikan endemik Danau Mahalona, Matano dan Towuti.

Dulu katanya, ikan butini sangat mudah ditemui di tepian danau. Namun sekarang malah sulit di temukan. Masyarakat Desa Tole jika ingin menyantap ikan harus membelinya dari luar. Profesi penangkap ikan pun kian jarang. Bahkan nyaris sudah tidak ada. Perahu-perahu yang dulunya dipakai untuk menangkap lebih banyak digunakan sebagai moda transportasi. Selain ikan butini, ada beberapa hewan endemik lainnya di tempat ini. Diantaranya ikan opudi (Thelmaterina celebensis) yang termasuk dalam kelompok ikan hias. Hasil penelitian Universitas Negeri Makassar bahkan menyebut ada 6 spesies kerang (Tylomelania), 3 spesies kepiting (Gecarcinucidae), 6 spesies udang di kawasan ini.

Belum lagi beberapa jenis mamalia hutan yang jadi ciri khas Sulawesi. Seperti Anoa quarlesi dan Babyrousa babirussa serta beberapa hewan lainnya.

Masyarakat Mahalona, khususnya di Desa Tole sangat berharap PT Vale Indonesia melepaskan hak konsesinya di Pegunungan Sumbitta. Mereka berupaya pegunungan itu dilepaskan dari 118.000 hektar lahan hak konsesi Vale.

Karena jika hutan itu ikut pula dieksplorasi, maka anggapan Danau Mahalona sebagai ‘tempat sampahnya’ Vale kian ditegaskan. Apalagi selama ini seakan sedimentasi yang terjadi bukan soalan yang besar. Padahal penduduk Desa Tole dan beberapa desa lainnya mengambil air minum dari danau ini. Bukan hanya manfaat isi dalamnya.

“Kami ingin membebaskan hutan itu bukan untuk dikelola, tapi sebagai pelindung terakhir Danau Mahalona,” kata Tasman. Ia juga berharap ada penelitian lebih jauh atas kandungan air Danau Mahalona. Karena nyaris sebagian besar penduduk Desa Tole bergigi rapuh. Tidak mengenal usia muda atau tua. Rata-rata gigi mereka cepat keropos. Begitupula yang terjadi kepada Talha Malaka, Ilham dan Tasman.

Sumber : walhisulsel.or.id

Editor :. Jesi Heny


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Makassar SULSEL

Ratusan Warga Maccini Parang Bertemu Appi dan IAS, Muchlis Misbah : Solidkan Warga Pilih Appi

MAKASSAR, EDELWEISNEWS.COM – Pemilihan Kepala Daerah Serentak makin hangat. Setiap calon mulai ‘menebar’ pesona dengan misi dan visi yang dimilikinya. Karena warga yang bakal menentukan siapa wali kotanya. Demikian pula Bakal Calon Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin. Hari ini dia menemui ratusan warga yang ada di Jalan Kesatuan, Kelurahan Maccini Parang, Kecamatan Makassar, Sabtu (14/9/2024). […]

Read more
Makassar SULSEL

Danny Pomanto Bahas Revolusi Mental di OSMB Universitas Terbuka

MAKASSAR, EDELWEISNEWS.COM – Wali Kota Makassar Moh. Ramdhan Pomanto menjadi pembicara di hadapan peserta Orientasi Studi Mahasiswa Baru (OSMB) Tahun Ajaran 2024/2025 di PTN Universitas Terbuka, Sabtu (14/9/2024). Pada kesempatan itu, ia dipercaya membahas tentang Revolusi Mental. Katanya, Revolusi adalah perubahan dengan cepat, sedangkan mental merupakan sebuah kekuatan. “Kekuatan mental itu tidak gampang, orang boleh […]

Read more
Makassar SULSEL

DWP Kota Makassar Sukses Jadi Juri Lomba Asmaul Husna Antar Majelis Taklim se-Kota Makassar

MAKASSAR, EDELWEISNEWS.COM – Pengurus Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kota Makassar berperan aktif dalam kegiatan keagamaan di Kota Makassar. Dibuktikan dengan sukses menjadi juri dalam ajang Lomba Asmaul Husna antar kelompok majelis taklim. Lomba ini diselenggarakan oleh Bagian Kesejahteraan Masyarakat (Kesra) Sekretariat Daerah Kota Makassar, diikuti oleh majelis taklim dari setiap kelurahan. Kegiatan tersebut berlangsung di […]

Read more