Penulis: A Ahsin Thohari
JALUR konstitusional telah dipilih pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dengan mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden dan wakil presiden dan siap bertarung di ‘meja merah’ Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebelumnya, Fadli Zon menegaskan, tidak akan membawa persoalan pemilihan umum presiden dan wakil presiden (Pilpres) 2019 ke MK karena dianggap tidak efektif dalam menyelesaikan permasalahan, useless, dan tidak independen karena anggota MK merupakan orang-orang politik. Akan tetapi, pada sisi lain ia juga menyatakan bahwa Pilpres 2019 penuh dengan kecurangan terstruktur, sistematis, masif, dan bahkan disebutnya brutal.
Politik berebut layang-layang putus
Bagaimanapun kesediaan untuk membawa kemelut Pilpres 2019 ke koridor hukum ini cukup melegakan. Setelah kerusuhan 21-22 Mei 2019, sebagai buntut unjuk rasa untuk menolak hasil Pilpres 2019 yang memenangkan paslon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 Jokowi-Ma’ruf Amin, kita sebenarnya khawatir bahwa demokrasi kita telah mengalami kemunduran, bahkan kegagalan.
Masih dipraktikkannya tindakan ekstra-yudisial sebagai respons atas kegagalan dalam kontestasi elektoral yang dilakukan kandidat ialah salah satu tanda bahwa demokrasi belum terkonsolidasi dan belum menjadi satu-satunya kesepakatan bernegara, the only game in town.
Hal ini sesungguhnya seperti memutar mundur jarum jam sejarah demokrasi kita yang telah berdetik sejak 1998 dan ironisnya terjadi saat kita telah melewati pemilu kelima sejak era reformasi. Pemilu kelima kerap kali dijadikan parameter apakah demokrasi di suatu negara sudah terkonsolidasi atau belum.
Penulis sepakat dengan editorial Media Indonesia, Kamis (13/6), bahwa pada akhirnya kita berharap apa pun amar putusan MK, baik permohonan tidak dapat diterima, permohonan ditolak, maupun permohonan dikabulkan, harus diterima dengan lapang dada. Menerima putusan MK ialah jalan terbaik yang disediakan demokrasi kita dalam menyelesaikan perselisihan hasil pilpres.
Putusan MK harus diinsafi sebagai sebuah kebijaksanaan dari 9 negarawan MK yang bertindak selaku benteng terakhir keadilan pemilu kita. Mungkin terasa pedih bagi pihak yang kalah nantinya untuk menerima kenyataan. Akan tetapi, harus disadari bahwa demokrasi tidak melulu soal kompetisi. Lebih dari itu, ada konsensus, termasuk konsensus untuk patuh pada putusan MK.
Demokrasi konstitusional membutuhkan elite politik yang menerima demokrasi secara kafah, baik saat berjaya maupun tumbang, dan meniscayakan kesetiaan untuk senantiasa bergerak pada koridor hukum. Elite politik tidak boleh mengeksploitasi massa politiknya untuk kepentingan tindakan-tindakan yang dapat mengoyak sulam demokrasi konstitusional yang telah disuji pembentuk konstitusi kita. Jika sebaliknya, elite politik itu telah menjelma menjadi enemy of the constitution!
Pihak yang kalah dilarang mempraktikkan ‘politik berebut layang-layang putus’, yakni setelah dikuasai pihak pemenang, layang-layang dirusak pihak yang kalah dengan tujuan agar pemenang juga gagal mendapatkannya dan sama-sama bertangan hampa. Hal ini hanya akan merusak bangunan demokrasi yang telah susah payah diperjuangakan dan bukan tidak mungkin akan menjerembapkan kita ke kubangan otoritarianisme kembali.
Sudut pandang hakim konstitusi
Putusan MK sering kali menghadirkan dua mazhab hukum, yaitu aggressive-bold heroes dan prudential-minimalist heroes, seperti pernah diungkapkan Stefanus Hendrianto dalam Law and Politics of Constitutional Courts: Indonesia and the Search for Judicial Heroes (2018).
Aggressive-bold heroes ialah hakim-hakim konstitusi yang menggunakan metode interpretasi konstitusi yang ambisius dan mengambil sikap agresif terhadap isu-isu konstitusi yang dihadapi. Mengutamakan tercapainya kemanfaatan hukum dan meletakkan hukum dalam ranah progresifnya ialah kata kunci mazhab ini.
Adapun prudential-minimalist heroes ialah hakim-hakim konstitusi yang mengandalkan pemikiran-pemikiran praktis dengan pilihan pendekatan yang kadang kala tidak heroik untuk mencapai tujuan utamanya.
Hakim-hakim ini sepenuhnya menyadari kapan harus maju satu langkah dengan interpretasi konstitusi yang ambisius dan kapan harus mundur dua langkah dengan tunduk pada pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Dalil-dalil yang diusung pemohon, termohon, dan pihak terkait sepenuhnya akan dinilai hakim konstitusi yang dapat memilih sudut pandang mazhab pertama ataupun mazhab kedua.
Meskipun demikian, hal penting yang patut dikemukakan ialah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sesungguhnya tidak lagi menempatkan MK sebagai ‘keranjang sampah’ yang menjadi penampung terakhir aneka limbah ketidakadilan pemilu. Itu karena kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah diperkuat secara eksekutorial, antara lain untuk melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran pemilu dan sengketa proses pemilu.
Maka dari itu, hal-hal yang semestinya menjadi kewenangan Bawaslu tidak boleh diambilalih MK. Hal ini pun diperkuat Pasal 5 Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2008 tentang Tata Beracara dalam Perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden, yang menyatakan bahwa objek dalam perkara PHPU presiden dan wakil presiden ialah keputusan termohon (Komisi Pemilihan Umum) tentang penetapan perolehan suara hasil pilpres yang memengaruhi terpilihnya pasangan capres dan wapres.
Oleh karena itu, pokok permohonan tidak boleh hanya terlihat indah sebagai barisan kata, frasa, dan kalimat belaka. Pasal 8 ayat (1) Peraturan MK tersebut mengharuskan pokok permohonan memuat penjelasan mengenai kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan termohon dan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
Tidak hanya itu, petitum permohonan PHPU presiden dan wakil presiden juga harus memuat permintaan untuk membatalkan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh termohon dan menetapkan hasil penghitungan perolehan suara yang benar menurut pemohon.
Dengan aturan tersebut menjadi jelas bahwa desain hukum pemilu kita saat ini hanya memungkinkan argumen-argumen kuantitatif untuk dapat memenangkan permohonan PHPU presiden dan wakil presiden, bukan kualitatif. Apa pun putusan MK yang bertindak sebagai benteng terakhir keadilan pemilu, pemenangnya ialah seluruh rakyat Indonesia.
Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta.