Oleh: Mursalin Yasland
Gara-gara berkurban lalat untuk berhala, seseorang masuk neraka
Sebagian orang melihat lalat berkeliaran; jijik, karena berkubang wilayah kotor. Sebagian lagi banyak yang mencari penghidupan berkalang lalat, para pemulung di tumpukan sampah, misalnya. Lalat ada di tempat bersih dan enak seperti makanan/minuman, juga sekaligus di tempat kotor, sisa makanan.
Makhluk Allah SWT bernama Lalat mengandung banyak pelajaran yang dapat dipetik hamba-Nya. Lalat bisa menyebabkan hal yang buruk, juga bisa menyebabkan hal yang baik. Di dunia, buruk bisa menjadi penyakit bagi manusia, sedangkan baik bisa mengurai sisa makanan menjadi pupuk dan sebagainya.
Tak disadari pula, seekor lalat ternyata dapat mencempelungkan seseorang ke neraka, dan juga dapat memasukkan orang ke surga. Hal tersebut telah terungkap kisahnya dari Nabi Muhammad SAW pada 1.400-an tahun silam.
Thariq bin Syihab menuturkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Ada seseorang yang masuk surga karena seekor lalat, dan ada seseorang yang masuk neraka karena seekor lalat pula.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana hal itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ada dua orang berjalan melewati suatu kaum yang mempunyai berhala, yang mana tidak seorang pun melewati berhala itu sebelum mempersembahkan kepadanya suatu kurban.
Ketika itu, berkatalah mereka kepada salah seorang dari kedua orang tersebut, ‘persembahkanlah kurban kepadanya.’ Dia menjawab, ‘Aku tidak mempunyai sesuatu yang dapat kupersembahkan kepadanya.’ Merekapun berkata kepadanya lagi, ‘Persembahkan, sekalipun seekor lalat.’ Lalu, orang itu mempersembahkan seekor lalat dan mereka pun memperkenankan dia untuk meneruskan perjalanannya. Maka dia masuk neraka karenanya.
Kemudian berkatalah mereka kepada seorang yang lain, ‘Persembahkanlah kurban kepadanya.’ Dia menjawab, ‘Aku tidak patut mempersembahkan sesuatu kurban kepada selain Allah.” Kemudian mereka memenggal lehernya, (dan meninggal). Karenanya, orang ini masuk surga.” Hadist Riwayat Imam Ahmad.
Orang yang masuk neraka dan surga dalam kisah lalat itu dua orang muslim. Dari hadist shohih tersebut, tersampaikan bukti bahwa: surga itu lebih dekat kepada seseorang di antara kamu daripada tali sandalnya sendiri, dan neraka pun demikian halnya.
Fenomena lalat memang mengandung dua hikmah besar yang kontradiktif bagi umat manusia di muka bumi ini. Melalui seekor lalat menjadi salah satu simbol ketauhidan seorang muslim dalam meraih keridhoan Allah SWT atas amal ibadah dan perbuatannya hingga akhir hayatnya kelak.
Memasuki bulan Dzulhijjah, satu dari empat bulan haram yang dicintai Alah SWT. Bulan ini mengandung banyak keutamaan. Diantaranya, berhaji (jika mampu) menggenapkan rukun Islam kelima. Berpuasa dari tanggal 1 hingga 9 Dzulhijjah, dan berpuasa tangal 9 Dzulhijjah pada hari Arafah, yang dapat menghapuskan dosa setahun lalu dan setahun yang akan datang.
Bagi yang tak berhaji, terdapat amalan yang suci yakni Berkurban. Jika seseorang mempunyai kemampuan hendaklah ia berkurban pada Hari Raya Idul Adha (10 Dzuhijjah) dan tiga hari tasyrik (11, 12, dan 13 Dzulhijjah). Dalam syariat, berkurban bisa hewan jenis unta (usia minimal 5 tahun), sapi (2 tahun), kambing (1 tahun), atau domba (6 bulan).
Seperti kurban seekor lalat yang dipersembahkan dua orang muslim di tengah perjalanan yang dikisahkan Nabi SAW. Dengan seekor lalat, seseorang dapat masuk surga asalkan hewan kurbannya dipersembahkan hanya kepada Allah SWT bukan selain-Nya. Meskipun pada akhirnya, ia hidup di dunia berkesusahan atau bertaruh nyawa sekalipun.
Berkurban bagi kita umat Muslim salah satu wujud rasa bersyukur atas nikmat Allah SWT kepada hamba-Nya semasa hidup. Nikmat hidup yang tak berbilang dari Allah SWT tak sebanding dengan uang atau harta yang dikeluarkan seseorang. Ibaratnya, setetes air dari telunjuk kita jatuh di samudera.
Tepatlah kiranya dalam firman Allah SWT dalam Alquran Surah Al-Kautsar (108) : ayat 2, “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan sembelihlah hewan kurban.”
Ayat ini menegur kita semua yang mengaku beriman kepada Allah. Nikmat apalagi yang kita dustakan. Setelah kita beriman dan berislam, tentunya mengerjakan shalat. Amalan kedua setelah shalat kita disuruh atau diperintahkan untuk berkurban (menyembelih hewan).
Jauh sebelum Nabi Muhammad SAW diutus Allah di muka bumi ini, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam telah mengawalinya dengan mengurbankan anak kesayangannya Ismail ‘alaihissalam. Padahal, ia bersama Siti Hajar memiliki anak bernama Ismail tersebut sangat lama hingga Ibrahim berusia tua 86 tahun, akan tetapi setelah Ismail dewasa mau dikurbankan atau disembelih. Betapa pengorbanan yang begitu luar biasa kholilullah (kekasih Allah, julukan Nabi Ibrahim), hanya karena perintah Allah Yang Maha Kuasa.
Kita yang hidup di zaman serba mudah dan cepat ini, masih saja sebagian orang banyak yang bermuram durja menyepelekan makna berkurban. Berkurban di bulan Dzulhijjah hanya setahun sekali. Belum tentu tahun depan kita akan bertemu lagi dengan bulan yang disayang Allah SWT.
Kesempitan dan kelapangan di dunia, tak sebanding dengan nikmat hidup yang telah Allah berikan kepada kita di dunia hingga mencapai umur kita saat ini. Kisah seorang nenek yang viral di media sosial, menjadi pelajaran berharga yang dapat dipetik bagi semua orang Islam. Bahwa kesempitan kehidupan, kekurangan harta, ketidakcukupan fasilitas rumah tidak menyurutkan nenek tersebut untuk berkurban seekor kambing.
Nenek itu tak henti setiap musim haji tiba, ia berkurban seekor kambing. Awalnya, ia berkurban dengan cara menabung di ‘dompet’ kain bertali dari hasil memulung sehari-hari. Selanjutnya, ia berkurban kambing dari hasil ternak kambingnya sendiri sampai hari ini.
Kalaulah dilihat dari gambaran videonya itu, rumah nenek tersebut berlantai tanah, peralatan masak seadanya jauh dari kehidupan kita yang serba moderen, dinding dan atap rumahnya sudah tak layak lagi. Masihkah teladan itu membuat hati kita tidak tergerak untuk berkurban karena Allah.
Tentu sebagian besar kita tak sama dengan kehidupan nenek tadi. Pekerjaan kita terhormat, rezeki kita terus mengalir, anggota keluarga sehat, dan juga terhormat dan terpandang di kehidupan sosial, juga yang terpenting masih diberikan umur untuk mengarungi hidup ini.
Berkurban tak memandang seorang itu kaya atau miskin, tapi mau atau tidak persoalannya. Bila tak mampu berkurban di masjid/mushalla karena mahal, masih banyak lembaga kemanusiaan (filantropi) yang menampung kurban kita bila memiliki uang pas-pasan. Mereka memberikan harga terjangkau (flashsale) untuk hewan kurban, dan dagingnya diserahkan kepada warga di pemukiman kaum duafa, warga pedalaman, bahkan ada yang sampai ke luar negeri, di Afrika, misalnya.
Berkurban tak lain hanya satu: karena mengharap ridho Allah SWT atas wujud syukur kita kepada-Nya. Banyak jalan agar kita dapat berkurban asalkan kita dapat meluruskan niat. Bukankah, kisah seorang muslim yang berkurban seekor lalat hanya karena Allah, dapat memasukkannya ke surga.
Berkurban tak memandang seorang itu kaya atau miskin, tapi mau atau tidak persoalannya. Bila tak mampu berkurban di masjid/mushalla karena mahal, masih banyak lembaga kemanusiaan (filantropi) yang menampung kurban kita bila memiliki uang pas-pasan. Mereka memberikan harga terjangkau (flashsale) untuk hewan kurban, dan dagingnya diserahkan kepada warga di pemukiman kaum duafa, warga pedalaman, bahkan ada yang sampai ke luar negeri, di Afrika, misalnya.
Berkurban tak lain hanya satu: karena mengharap ridho Allah SWT atas wujud syukur kita kepada-Nya. Banyak jalan agar kita dapat berkurban asalkan kita dapat meluruskan niat. Bukankah, kisah seorang muslim yang berkurban seekor lalat hanya karena Allah, dapat memasukkannya ke surga.
Penulis adalah wartawan Republika