PADANG, EDELWEISNEWS.COM – Saatnya pemerintah menyisihkan dana satu persen dari APBN, atau sekitar Rp30 triliun per tahun untuk diplomasi budaya Nusantara ke tingkat dunia.
Demikian pernyataan Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena Denny JA dalam pidato kebudayaan pada pembukaan International Minangkabau Literacy Festival (IMLF) di Auditorium Gubernur Sumatera Barat, Padang pada Rabu malam (22 Febuari 2022).
“Memberikan perhatian pada budaya itu bagus tak hanya untuk majunya budaya Nusantara, tapi juga bagus untuk perekonomian Indonesia sendiri di era baru,” ujar Denny.
Dalam pidatonya, Denny mendudukkan situasi dunia saat ini yang sedang mengalami perubahan. Dimana puncaknya akan berlangsung pada tahun 2050 mendatang.
“Untuk pertama kalinya, pusat ekonomi dunia akan berpindah dari Barat ke Asia. Negara paling kuat secara ekonomi nantinya bukan lagi Amerika serikat. Nomor satu adalah China. Nomor dua adalah India, sedangkan Amerika Serikat merosot ke nomor tiga dan Indonesia melonjak menjadi negara nomor empat,” ujar Denny.
Prediksi ini dibuat oleh Pricewater House Cooper, lembaga bisnis dengan reputasi internasional, pada tahun 2017. Prediksi Pricewater ini juga sudah diperkuat pula lembaga ekonomi dunia lainnya, seperti World Bank dan IMF.
“Ini adalah megatrend. Dalam 2000 tahun sejarah, berpindahnya pusat ekonomi dunia terjadi hanya beberapa kali saja,” sambungnya.
Denny menjelaskan, sejarah telah menunjukkan bahwa pusat ekonomi juga akan berkembang menjadi pusat peradaban. Dari pusat ekonomi, menuju dominasi teknologi, kekuatan militer, dan ujungnya pusat peradaban.
“Kita pun harus bersiap- siap dengan kebangkitan kultur Asia. Negara yang kuat tentu saja akan memilih memperkuat identitas kulturalnya sendiri, memperbaharui dan memberdayakan identitas kulturnya sendiri,” sambungnya.
Ia melanjutkan, hal ini bagus untuk dunia. Dominasi kultur barat selama ini akan diperkaya oleh kultur dari Asia.
“Strategi budaya kita harus dihidupkan dalam kerangka megatrend itu. Bahwa Asia akan menjadi pusat ekonomi, lalu pusat peradaban dunia,” jelasnya.
Menurut Denny, budaya Minangkabau harus pula kita berdayakan masuk ke dalam kerangka megatrend tersebut.
“Ini bukan hal mustahil mengingat Minangkabau kaya potensi,” kata Denny.
Ia merujuk pada riset 50 makanan dunia paling popular yang digelar oleh CNN pada tahun 2017 lalu. Audiens yang diriset berasal dari berbagai belahan dunia dan makanan yang diriset pun beragam, mulai dari sushi dan ramen dari Jepang, tom yam dari Thailand, pecking duck dari Cina dan juga hamburger dan steak dari Amerika Serikat.
“Hasilnya menyentak kita. nomor satu yang populer adalah rendang dari Indonesia. Lebih tepatnya, rendang dari Minangkabau,” sambung Denny.
Telebih, jika membaca sejarahnya, rendang sudah dikenal sejak abad ke-16. Atau sekitar 500 tahun lalu, para pedagang dan pelayar seringkali membawa rendang karena merupakan makanan yang awet.
“Kita berdecak kagum dengan karya seni nenek moyang kita di Sumatra Barat. Bagi kita kuliner itu juga bentuk seni; seni di bidang makanan,” tambahnya.
Lalu pada tahun 2021, CNN kembali membuat riset 50 makanan populer dunia. Meski tidak lagi menempati posisi nomor satu, namun rendang tetap masuk top-11 makanan popular di dunia.
“Tentu ketika kita ingin membangkitkan kultur Minangkabau, banyak lagi elemen kultur lainnya di Minangkau,” terangnya.
“Memberdayakan budaya Minangkabau, itu tak berarti kita menghidup- hidupkan budaya lama. Tapi kita memperbaharuinya, memberi nafas baru, memberi spirit baru agar karya budaya itu sesuai dengan zaman baru,” sambung Denny.
Hal itu berarti, kita mempopulerkan kembali warisan budaya lokal kita dengan teknologi tinggi dan mindset masa kini.
“Setelah produk budayanya kita bangkitkan dengan spirit baru, bagaimana kita mempopulerkan budaya itu ke tingkat dunia?
Ini juga hukum besi sejarah. Tak ada produk budaya di era ini yang bisa populer sendiri secara alamiah. Tak ada produk budaya yang bisa populer sendiri secara apa adanya,” jelas Denny.
“Semua perlu dimarketingkan: semua perlu dikemas dan dimobilisasi,” sambungnya.
Menurutnya, kita bisa belajar dari strategi budaya Korea Selatan yang kini menonjol di tingkat dunia.
Di dunia musik, Korea Selatan diwakili oleh boyband BTS yang dianggap sebagai The Beatles masa kini. Kemanapun mereka pentas, mereka melahirkan histeria massa.
Di dunia film, film “Parasite” dari Korea Selatan berhasil menjadi Film Terbaik Oscar di tahun 2020. Selain itu, drama Korea di Netflix juga termasuk dalam jajaran yang paling disukai.
Lantas, hal apa yang dilakukan di balik layer sehingga hal tersebut bisa terjadi?
Denny menjelaskan, ada tiga hal utama yang juga bisa dikerjakan oleh Indonesia.
Pertama, kultur Korea Selatan dikampanyekan secara internasional, dan dijadikan bagian dari diplomasi kultural resmi pemerintahan. Negara secara sengaja menjadikan diplomasi kultural sebagai bagian dari diplomasi kenegaraan.
“Strategi pertumumbuhan ekonomi nasional secara sengaja juga disusun dengan memasukkan pemberdayaan budaya nasional di sana,” jelas Denny.
Kedua, perusahaan besar Korea Selatan juga ikut mengkampanyekan budaya Korea. Perusahaan besar seperti Hyundai dan Samsung juga diminta ikut memberdayakan kultur Korea.
“Jika produk budayanya disukai dunia, musiknya, drama, film, itu juga akan memberikan efek kepada industri Korea. Brand besar bisnis Korea juga diuntungkan,” tambah Denny.
Hal ketiga adalah komitmen pemerintah itu dikongkretkan pula dengan alokasi anggaran dari pemerintahnya.
Sejak tahun 1990an, satu persen dari APBN Korea Selatan dialokasikan untuk pemberdayaan kultur Korea Selatan
“Kita bisa bayangkan APBN indonesia per tahun 3.000 triliun rupiah. Satu persen saja dari 3.000 triliun adalah 30 triliun pertahun,” kata Denny.
Nilai tersebut jika dialokasikan setiap tahun untuk memberdayakan budaya di Indonesia sudah sangat cukup.
“Karena itu kita menyambut baik perhelatan International Minangkabau Literacy Festival yang diinisiasi oleh teman-teman dari Satupena Sumatera Barat ini, yang dipimpin oleh Sastri Bakry,” kata Denny.
“Acara ini dapat menjadi momentum untuk membangkitkan kembali Minangkabau, membangkitkan kembali raksasa yang sedang tidur,” sambungnya.
Menurut Denny, kerja budaya ini jauh lebih mudah jika dibantu oleh pemerintah daerah dan pemerintah nasional.
“Kita ikuti saja strategi yang sudah sukses dari Korea Selatan. Mulai dari anggaran. Misalnya satu persen dari APBD Sumatra Barat dialokasikan untuk memberdayakan kultur Minangkabau. APBD Sumatera Barat tahun 2023 lebih dari enam triliun rupiah,” jelasnya.
“Satu persen berarti 60 miliar setahun dialokasikan Pemda Sumbar untuk memberdayakan budaya Minangkabau. Itu sudah sangat, sangat, sangat cukup,” sambung Denny.
Hal itu juga bisa diterapkan pada tingkat APBN. Di mana total APBN Indonesia sekitar 3.000 triliun, satu persennya berarti 30 triliun rupiah per tahun bisa dialokasikan untuk memberdayakan budaya Nusantara.
“Ini akan menjadi langkah awal yang signifikan,” kata Denny.
“Tiga puluh tahun dari sekarang, ketika budaya Minangkabau berjaya di dunia internasional, kita tahu bersinarnya budaya Minangkabau saat itu ikut dibangkitkan oleh acara kita malam ini,” tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Satupena Sumatera Barat yang juga menginisiasi gelaran IMLF, Sastri Bakry menjelaskan bahwa kegiatan bertaraf ini didukung oleh Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Kementerian Dalam Negeri Regional Bukittinggi serta pemerintah Provinsi Sumatera Barat, Kabupaten Agam, Kota Padang Panjang dan sejumlah wali nagari.
Terdapat hampir 200 delegasi yang hadir dari sejumlah negara, seperti Malaysia, Brunei, Australia, Bangladesh, Spanyol, Argentina dan Rusia.
Penulis : Denny JA