GOWA,EDELWEISNEWS.COM – Enam masyarakat adat Dusun Matteko, Desa Erelembang, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa ditahan lantaran didakwa melanggar UU No.18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (P3H).
Namun, Aliansi Matteko Menjemput Keadilan (AMMK) membantah tuduhan tersebut.
”Keenam warga tersebut tidak pernah melakukan pengrusakan hutan, melainkan aktivitas yang mereka lakukan adalah kerja bakti dengan tujuan membersihkan pohon pinus yang menghalangi maupun berpotensi menganggu aktivitas masyarakat setempat,” ujar Muhaimin Arsenio dari AMMK.
Berikut ini kronologi penangkapan versi Aliansi Matteko Menjemput Keadilan (AMMK).
Pada 2 Januari 2019 hujan deras disertai angin kencang melanda Dusun Matteko. Hal tersebut mengakibatkan delapan tiang listrik roboh akibat tertimpa pohon pinus.
Akibat dari kejadian tersebut jaringan listrik terputus serta akses warga setempat terhalang.
Dihari yang sama, beberapa warga berinisiatif melapor ke pemerintah setempat. Dalam hal ini Dahlan selaku Ketua RT.
Melanjutkan laporan warga, masih dihari yang sama, Dahlan mendatangi rumah Nurdin Tinri selaku RK sekaligus menjadi pelaksana tugas kepala dusun. Kesepakatan yang diambil adalah melakukan kerja bakti secepat-cepatnya. Rencana ini diumumkan kepada warga melalui RT.
Keesokan harinya, 3 Januari 2019 pukul 10.00-16.00 Wita, masyarakat Dusun Matekko ramai-ramai turun melakukan kerja bakti dengan memangkas pohon yang menghalangi jalan dan menimpa tiang listrik serta pohon yang berpotensi merusak dan mengancam pengguna jalan.
Setelah kejadian tersebut, pada hari Rabu tanggal 9 Januari 2019, Kapolsek Tombolo Pao, Iptu. H. Jamaran didampingi enam orang anggotanya beserta Kepala Desa Erelembang Putra Syarif Puang Pabeta mendatangi lokasi kejadian pohon tumbang. Bersamaan dengan itu mereka memasang garis polisi.
Berselang beberapa hari kemudian, Kepala Desa Erelembang memberi perintah kepada kepala dusun bersama dengan tujuh orang warganya untuk datang ke Polsek Tombolopao untuk di mintai keterangan pada Jumat 18 Januari 2019.
18 Januari 2019 di Polsek Tombolopao, ketujuh orang tersebut diperiksa dari pukul 10.00 – 02.00 dinihari. Dilanjutkan keesokan harinya dengan waktu yang sama selama tiga hari berturut-turut.
Kurang lebih dua pekan setelah kejadian itu, pada 31 januari 2019, Nurdin Tiri berserta lima temannya yaitu, Dahlan, Nurdin, Nasir, Saddam, Abd. Latif mendapat panggilan pemeriksaan dari Polres Gowa sebagai saksi.
1 Februari 2019, sehari setelah pemeriksaan Nurdin Tinri, Dahlan, Nurdin, Saddam, Abd. Latif ditetapkan sebagai tersangka, dengan dakwaan pelanggaran tindak pidana melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dan/atau dengan sengaja membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
Sebagaimana dimaksud dalam pasal 94 Jo pasal 19 dam/atau pasal 84 Jo pasal 12 huruf f dan/atau pasal 82 Jo pasal 12 Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan hutan.
Bersamaan dengan itu keluar pula surat perintah penahanan (Nomor: Sp. Han/03/II/201) terhadap tersangka selama 20 hari yang sementara penahanannya dititipkan di Rumah Tahanan kelas I Makassar.
Disusul dengan perpanjang penahanan oleh Kejaksaan Negeri Gowa (Nomor: B. 06/R.4147/Eub.1/02/2019) selama 40 hari terhitung mulai tanggal 21 Februari 2019 sd. Tanggal 01 April 2019 di Rumah Tahanan Polres Gowa.
“Perlu kami tegaskan lagi bahwa keenam masyarakat Matteko dikriminalisasi oleh pihak penegakan hukum, dalam hal ini Kapolsek Tombolopao dengan menyebarkan informasi yang tidak benar,” tambah Muhaimin.
UU No. 18 /2013 tentang P3H, pasal 1 poin 6 mengatakan, terorganisir adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstrukrur, yang terdiri atas 2 orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan pengrusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perdagangan tradisional dan /atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial.
“Jika dilihat dari undang-undang ini, masyarakat lokal atau masyarakat yang tinggal di dalam kawasan hutan tidak dapat dipenjarakan maupun dikriminalisasi, karena aktivitas yang mereka lakukan adalah gotong royong atau kerja bakti dan masyarakat juga tidak mengambil keuntungan dari kegiatan tersebut,” terang Muhaimin dalam siaran persnya.
Olehnya, Aliansi Matteko Menjemput Keadilan kembali menggelar aksi pada Kamis (8/8/2019) dengan tiga tuntutan sebagai berikut.
1. Bebaskan enam orang masyarakat Matteko
2. Stop menyebarluaskan pembohongan publik
3. Tegakkan keadilan yang berpihak pada masyarakat adat. (ti)
Editor : Jesi Heny