![](https://edelweisnews.com/wp-content/uploads/IMG-20240407-WA0073.jpg)
WAJO, EDELWEISNEWS.COM – Dalam upaya membangun Kabupaten Wajo, satu nama mengisi catatan penting sejarah Bumi Lamaddukelleng. Ia ikut mewarnai daerah ini sekitar dua puluh tahun tanpa jedah.
Dua dekade yang menentukan, H. Agustan Ranreng adalah satu nama dari rentetan nama-nama politisi dari berbagai latar belakang yang berbeda. Ia adalah politisi yang lahir dari rahim pesantren yang mengabdi di jalur politik, dengan ciri khas kental dengan karakter santri dengan kemandirian dan kesabaran untuk meniti dan merajut bagian-bagian penting kemajuan peradaban yang didamba, yaitu berdaya dan berkeadilan.
Sebagai seorang santri, Ia hadir dalam dunia politik bukan tanpa alasan. Ia berupaya mentransmisikan semangat santri sebagai pembaharu secara konsekuen.
Karakter santri menjadi tawaran sekaligus menjadi solusi menghadapi dunia yang terus berubah. Laju perubahan yang begitu cepat menyebabkan berbagai identitas menjadi kabur dan perlahan lenyap. Itu adalah fenomena yang hadir secara terus menerus dan menggerus nilai-nilai dalam masyarakat kita sepanjang waktu. Letak tantangannya jelas.
Apa yang harus kita benahi?
Itu adalah pertanyaan kritisnya.
Untuk menjawab kebisingan masalah ini, mari kita mengulas dan menguras pikiran. Pertama, setiap zaman melahirkan tantangannya sendiri yang bisa jadi tidak terjawab di masa sebelumnya, akhirnya terakumulasi dari waktu ke waktu. Manusia pembaharu berganti namun menyisakan pertanyaan tentang kualitas generasi penerusnya. Kedua, generasi pelanjut harus disiapkan dan mempersiapkan diri, medannya jelas yaitu mengangkat harkat dan martabat manusia.
Kini kita menatap tantangan baru, sekitar tujuh bulan ke depan, kontestasi Pilkada serentak di lebih dari lima ratus kabupaten, kota, dan provinsi akan digelar dan Wajo adalah salah satunya. Kali ini, tawarannya adalah melanjutkan kepemimpinan lama atau melakukan perubahan, namun satu hal yang patut kita garis bawahi bahwa daerah ini membutuhkan roh perjuangan dan kini kita menanti jarum kompas berhenti di satu titik, tempat tumbuhnya cita-cita dengan dialektika yang sangat lekat di hati dan jejak masa lalu tumbuh berkembangnya tradisi masyarakat kita yaitu pondok pesantren. Dari sanalah santri itu hadir untuk Wajo tahun 2024..(APJ)