MAKASSAR, EDELWEISNEWS.COM – “Ini Bukan Festival”, yang digelar tanggal 15-21 November 2020, di Etika Studio, Makassar, tak hanya menyuguhkan pertunjukan berkualitas, tapi juga diskusi dengan tema-tema aktual dan bernas.
Salah satunya tentang “Industri Perfilman di Masa Pandemi Covid-19”. Hadir dalam diskusi perfilman ini Dr Syahriar Tato (Ketua PARFI Sulsel) dan Iwan Azis (pengamat perfilman).
Diskusi film yang dipandu Rusdin Tompo, Kamis (19/11/2020) ini, memunculkan beberapa wacana tentang kondisi aktual dan masa depan perfilman. Meski bioskop tutup beberapa bulan terakhir akibat wabah virus Corono, tapi produksi film tidak vakum.
“Ada 50-an film kita siap tayang di bioskop,” begitu kata Syahriar Tato, aktor yang akan memasuki usia 70 tahun, penuh semangat.
Kemajuan teknologi yang memungkinkan orang menonton film ke format digital, ikut memacu kreativitas para film maker. Meski beberapa film produksi anak-anak Makassar dan film produksi lokal telah berbicara di kancah nasional dan internasional, namun diingatkan bahwa film yang dibuat idealnya punya identitas budaya.
Hadir dalam diskusi yang banyak mengungkap sejarah perfilman di Makassar itu, antara lain aktor Arman Dewarti, Hasan Kuba, dan Prapto Budisantoso, akademisi Dr Quraisy Mathar dan Dr Halilintar Latief,
Pada hari yang sama tampil pendongeng Muliadi (#KakMulBercerita) dengan judul cerita “Sangiang Serriq dan Kucing Penjaga Padi. Juga ada pembacaan puisi oleh Dr. A. Baetal Muqaddas, dan duo Rindu dan Nikel yang tampil membawakan dua lagu.
Dalam perhelatan “Ini Bukan Festival” suguhan seni yang ditampilkan bukan hanya kesenian asal Sulsel, tapi juga dari Maluku. Di hadapan seratusan penonton, Sanggar Nuku HIPMIN Makassar menampilkan tari Soya-soya dengan gerakan yang energik.
Karya tari : “Spirit of Bahine Kajang” oleh Alfarabi Scuad, dari Bulukumba, dengan koreografer Erna Ningsih Ichdar, S.Pd. Tak hanya pertunjukan, Alfarabi Scuad juga hadir dalam dialog bertema “Tari dan Dinamika Kesenian di Kabupaten”.
Diskusi buku sastra kumpulan cerpen “Dari Sunyi ke Bara, karya Muh. Amir Jaya dibahas oleh Anwar Nasyaruddin (cerpenis) dan Dr Suradi Yasil (penyair dan novelis) dengan moderator Rosita Desriani, Jumat (20/11/2020).
Menurut Amir Jaya, menulis cerpen tak banyak butuh waktu, karena ide sudah ada di kepalanya, tinggal dituangkan dalam tulisan. Dia lalu mengutip beberapa kalimat dari Buya Hamka, Pramoedya Ananta Toer dan Chairil Anwar untuk memotivasi audiens terus menulis.
Anwar Nasyaruddin menyebut karya cerpen Amir Jaya tidak lepas dari latar belakang penulisnya, termasuk profesinya sebagai mantan wartawan. Suradi Yasil memuji kepandaian penulis memberi judul cerpen-cerpennya, yang menyasar banyak tema, termasuk tema-tema religius dan sufistik.
Acara bedah buku dan pembacaan karya sastra ini dihadiri antara lain Idwar Anwar, Asmin Amin, serta beberapa penulis, penyair dan penggiat literasi. Di sela diskusi ada pembacaan puisi oleh Syahril Patakaki, Mami Kiko, dan Asmin Amin.
Yudhistira Sukatanya, sastrawan dan pengurus Lembaga Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Sulawesi Selatan (LAPAKKSS) mengapresiasi kemampuan penulis mengecoh pembacanya, dengan sesuatu yang tidak terduga. Katanya, kadang sebagai pembaca kita menyangka dia akan berbicara ini padahal lain. Penulis, lanjutnya, membawa pembaca pada pengetahuan-pengetahuan baru.
“Meski sebagai cerpen yang dimuat di media cetak, dibatasi oleh jumlah kata dan karakter,” puji Yudhistira Sukatanya, yang juga sutradara teater itu.
Pada Jumat malam, tampil Arif Daeng Rate, membawakan sinrilik “I Makdik Daeng Rimakka”. Pasinrilik milenial ini tergabung dalam Asosiasi Pemuda Pelestari Bahasa Daerah (APPBD).
Kemudian Lembaga Sulapa’appa membawakan “Mangkasarakku” dalam bentuk musikalisasi puisi. Juga ada pertunjukan musik “Tunrung Pa’padang” oleh Sanggar Seni Rupa Tau, Gowa.
Pada hari keenam penyelenggaraan “Ini Bukan Festival” ditutup oleh pertunjukan monolog dan diskusi “Bilang-bilang” oleh Komunitas Bajak Laut.(rilis)
Editor : Jesi Heny