PALU,EDELWEISNEWS.COM – Masalah baru timbul di Kota Palu dan daerah sekitarnya, delapan bulan setelah kawasan tersebut dilanda gempa bumi, likuifaksi, dan tsunami.
Sebuah lembaga swadaya masyarakat bernama Perkumpulan Lingkar Belajar untuk Perempuan (LIBU) Sulawesi Tengah, menerima laporan 10 kasus pernikahan anak di beberapa tempat pengungsian dalam kurun tiga bulan terakhir.
“Kasus pernikahan anak tertinggi terjadi di pengungsian Petobo yakni sebanyak lima kasus, tiga kasus di Pantoloan, dua kasus di Jono Oge, dan satu kasus di Balaroa,” kata Direktur LIBU Sulawesi Tengah, Dewi Rana Amir, kepada wartawan Erna Dwi Lidiawati yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Dari 10 kasus tersebut, enam di antara mereka menikah dengan laki-laki yang juga masih usia anak.
Satu di antara mereka menikah dengan pria di atas usia 40 tahun. Adapun tiga lainnya menikah dengan pasangan berusia 18-20 tahun.
Apa motif pernikahan? Dewi Rana Amir menduga kesulitan ekonomi merupakan salah satu faktor pendorong.
“Memang ada satu anak yang kemudian dikawinkan karena dia hamil, tapi yang lain itu adalah faktor ekonomi.”
“Saya berikan contoh, misalnya (kasus) di Pantoloan Ova. Kedua orang tua si anak meninggal karena tsunami, dia tinggal sama tantenya. Kemudian setelah ada orang yang suka, dia langsung dinikahkan,” papar Dewi.
Keterdesakan ekonomi
Dugaan faktor ekonomi yang dikemukakan Dewi Rana Amir disuarakan pula Soraya Sultan, Ketua Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah atau KPKP-ST yang ikut memberi pendampingan kepada anak-anak dan remaja di enam lokasi pengungsian di Kota Palu dan Kabupaten Donggala.
Menurut Soraya, dari pemantauannya, sejumlah perempuan di bawah umur dinikahkan karena menjadi beban keluarga.
“Sudah hampir delapan bulan pascabencana, sebagian besar pengungsi masih tinggal di kamp atau di huntara (hunian sementara). Pascabencana orang bukan cuma kehilangan rumah, tapi kehilangan pekerjaan, kehilangan sumber mata pencaharian.
“Bisa jadi fokus orang tua lebih ke hal-hal yang sifatnya pokok atau sifatnya urgent, misalnya bagaimana mau makan besok.
“Orang tua yang mengalami keterdesakan ekonomi, merasa bahwa dengan dia menikahkan anaknya, tanggung jawab ekonominya lepas. Bukan soal pada umurnya, tapi kalau ada yang cepat lamar anaknya atau memang kalau memang lebih cepat bisa dikawinkan, beban ekonomi keluarga berkurang. Jadi anak perempuan itu di tumpukan sebagai beban,” papar Soraya.
Hingga Mei 2019, berdasarkan data Pemerintah Kota Palu, setidaknya masih terdapat 10.000 kepala keluarga atau 40.136 jiwa masih berada di lokasi-lokasi pengungsian.
Dari jumlah itu baru 4.558 KK yang sudah tertampung oleh Hunian Sementara (Huntara) yang dibangun oleh pemerintah dan LSM, sedangkan sisanya sebanyak 6.655 KK masih tinggal di tenda-tenda pengungsian.
‘Seperti gunung es’
Kasus perkawinan anak dan dugaan penyebabnya diketahui dari hasil kegiatan pendampingan di ‘Tenda Ramah Perempuan’, yang didirikan sejumlah LSM dengan PBB serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di 12 lokasi pengungsian.
Jumlah kasus yang terdeteksi ini dikhawatirkan jauh di bawah angka yang sebenarnya, mengingat ada sekitar 400 lokasi pengungsian yang tersebar di Palu, Sigi dan Donggala.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sulawesi Tengah, Ihsan Basir, mengibaratkannya seperti ‘gunung es’ . Karena yang terlihat di bawah permukaan luar biasa besar ketimbang yang tampak di permukaan.
“Yang kita tidak ketahui adalah tingkat perkawinan anak yang kemungkinan bertambah di daerah terdampak bencana. Di Kota Palu saja, jumlah pernikahan di bawah usia 18 tahun yang diberikan oleh Dukcapil ini, ada 28 orang laki-laki. Sementara untuk perempuan, 45 orang,” tutur Ihsan Basir.
“Ini seperti gunung es, saya tidak menduga yang terburuk, tapi saya pikir ini langkah persiapan buat kita untuk being alert. Kita sudah harus siaga terkait pernikahan dini,” sambungnya.
Guna menekan angka pernikahan di bawah umur, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah melakukan penyuluhan dan respons cepat dalam wujud forum anak-anak yang dibentuk pihak pemprov.
“Ini kan ada laporan di salah satu tenda ramah perempuan terkait anak perempuan usia 14 tahun yang sudah pergaulan bebas di huntara. Saya bilang sama teman agar anak itu dimasukkan ke forum anak, supaya tidak lagi bergaul dengan anak-anak berandalan. Ini salah satu langkah kita untuk respons cepat,” kata Ihsan Basir.
Adat menikahkan
Bagaimanapun, langkah pemprov tampaknya belum memadai.
Di Kabupaten Donggala, baru-baru ini seorang anak perempuan yang masih berusia 15 tahun dinikahkan setelah ibu dan neneknya memergoki dia berpacaran.
Alasan menikahkan anak karena norma warga setempat. Diakui Soraya Sultan, selaku ketua KPKP-ST, sebagai hal yang membuat anak perempuan menjadi korban.
Dari 10 perkawinan anak yang terdeteksi, hanya tiga orang yang melanjutkan pendidikan. Lainnya, putus sekolah.
“Hanya karena kedapatan pacaran, anak itu dinikahkan. Kalau di tempat lain mungkin belum dinikahkan. Tapi, adat di sini masih kuat. Akhirnya yang jadi korban, anak perempuannya,” tukas Soraya.
Kasus Perkawinan usia anak terjadi di seluruh provinsi di Indonesia. Prevalensi perkawinan usia anak di provinsi-provinsi di Indonesia pada tahun 2015 berkisar antara 11,73% di Kepulauan Riau dan hingga 34,22% di Sulawesi Barat.
Berdasarkan data tahun 2015, terdapat 20 provinsi dengan prevalensi perkawinan usia anak yang lebih tinggi dibandingkan angka nasional (22,82%).
Lima provinsi yang merupakan lima besar provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Sulawesi Barat (34,22%), Kalimantan Selatan (33,68%), Kalimantan Tengah (33,56%), Kalimantan Barat (32,21%), dan Sulawesi Tengah (31,91%).