Setelah Tiga Tahun di SMA Umum dan Pengalaman UTBK yang Menegangkan

Penulis: Nabila May Sweetha

Saya ingin berterima kasih pada banyak orang, terutamanya pada diri saya sendiri dan orang-orang yang menjadi support system terbesar saya dalam usaha menjadi orang terpelajar. 

Makasih untuk PerDIK, rumah tempat saya berpulang setelah lelah mengecap bentuk-bentuk ketidak adilan di luar sana. Terima kasih kepada keluarga PerDIK yang selalu menyediakan tangan untuk menarik saya dari semua macam kejatuhan, terkhususnya pada Kak Zakia (biasa saya panggil Kak Kia) yang selalu bisa memberi saran apapun yang saya butuhkan.

Zakia mendampingi saya mulai dari saya mendaftar SMA, kala itu siang terik menunggu lama di halaman SMA Negeri 11 Makassar. Sampai kelulusan, bahkan hingga mendampingi saya ke tempat tes UTBK kemarin. Zakia, satu-satunya kawan sekaligus kakak perempuan yang sepaham dengan saya, bahwa perempuan seharusnya bersuara dan melawan, alih-alih diam dan ketakutan.

Saya akhirnya lulus SMA. Ada tawaran mendaftar SNMPTN (jalur undangan) dari sekolah, dengan syarat harus memilih jurusan Pendidikan Luar Biasa, tapi saya tidak mengambil tawaran itu. Saya kemudian mendaftar jalur SBMPTN tahun ini, meski ragu bisa lulus. Bukan apanya, satu tahun belakangan ini saya seperti sempurna tidak sekolah, sekolah online membuat saya muak dan bosan setengah mati. Setahu saya, di Makassar ada delapan orang difabel netra pendaftar jalur SBMPTN.

Jauh-jauh dari waktu tes UTBK, (Ujian Tulis Berbasis Komputer), saya sudah meminta Zakia untuk menemani saya. UTBK-nya akses, saya tahu itu, tapi saya tetap memerlukan Zakia sebagai orang yang paling mengenal Saya, dan bisa menenangkan ketika ada upaya diskriminasi dalam proses yang saya jalani.

***

Kemarin pagi-pagi sekali, mungkin sekitar jam enam, saya mulai siap-siap dan memesan taxi onnline. Zakia suda menunggu saya di universitas tempat saya tes, UNM (Universitas Negeri Makassar). Saya memilih jurusan politik dan antropologi murni di UNHAS (Universitas Hassanuddin). Saya berharap bisa lulus, karena saya tidak mampu mendaftar jalur mandiri di UNHAS, meski setelah mengikuti tes saya bisa mengira-ngira sejelek apa hasil yang akan saya terima nanti.

Saya bertemu Zakia di halaman depan Masjid Nurul Ilmi UNM, lalu tak berselang lama motor melintas di sebelah kami lalu dibarengi dengan teriakan laki-laki,

“Lagi tunggu apa, Dek?”

Itu Yoga Indar Dewa (anggota PerDIK, mahasiswa UNM) dia juga ingin mendampingi saya mengikuti tes. Dia difabel netra total, tapi bisa turut menjadi support system untuk saya.

Ada kabar baik pada UTBK yang dilaksanakan di UNM tahun ini. Lumayan banyak difabel netra yang mendaftar, dan semuanya adalah perempuan. Sebagai orang yang selalu menegaskan bahwa perempuan, apapun alasannya, harus diberi ruang untuk bersekolah setinggi-tingginya, saya bahagia sekali mendengar hal ini. Tapi saat masuk ke ruangan tes, hanya tujuh orang yang diperbolehkan masuk, sementara satu pendaftar ternyata adalah non-disabilitas yang entah mengapa mendaftar dengan keterangan  disabilitas.

tujuh peserta difabel yang mengikuti UTBK 2021 di Makassar

Zakia tak berhenti memberi saya semangat, tangan saya dingin dan Zakia meremas-remasnya agar saya tidak gugup. Sebelum masuk ke ruangan tes, seorang wartawan harian Fajar, yang memperkenalkan diri bernama Enal mewawancarai saya. Pertanyaannya tidak banyak, dan saya jawab dengan singkat dan jelas. Saya menjelaskan bagaimana orang tua saya tidak memberi saya izin, juga tidak mendukung saya untuk berkulliah.

Nabila saat diwawancarai wartawan dari harian fajar Makassar sebelum ujian

Mengapa saya mengambil jurusan politik dan antropologi, alih-alih mengambil jurusan andalan difabel (pendidikan luar biasa). Saya menjelaskan, bahwa salah satu alasan besar saya ingin kuliah adalah untuk belajar sekaligus mengadvokasi pihak universitas, bahwa difabel tidak hanya bisa bersekolah atau berkuliah di jurusan luar biasa saja. Saya rasa semua jawaban dan penjelasan saya cukup jelas, semoga berita yang tayang nantinya tidak cukup buruk dan tidak menjadikan saya objek yang aneh-aneh lagi.

Tempat tes saya terletak di fakultas ekonomi, Universitas Negeri Makassar, ruang IT Center kalau tidak salah. Nama saya dipanggil paling awal, dan Zakia sekali lagi meremas tangan saya yang dingin dan bergetar halus sebelum mengantarkan saya masuk. Ruangan tesnya cukup nyaman dengan meja dan bangku-bangku tunggal, juga pendingin ruangan yang tidak terlalu dingin.

Saya meletakkan tas saya di belakang, meraba-raba keyboard komputer, dan menetralisir perasaan gugup. Sekitar sepuluh menit kemudian, saya suda memasukkanh data-data pribadi saya, seperti nama lengkap dan NISN. ada halaman yang sudah terbuka saat saya mengakses komputer di depan saya.

Sepuluh menit kemudian,, tes sudah dimulai. Waktu untuk tes TPS penalaran, kemampuan baca dan menulis, kualitatif dan semacamnya saya rasa sudah cukup. Bagi saya, masalanya justru terletak pada durasi yang diberikan untuk soal-soal soshum yang terlalu lama. Durasinya bisa sampai dua puluh dua menit persepuluh  soal, atau semacamnya. Sementara menurut saya, soal-soal soshum seperti sejarah,  sosiologi, geografi dan sebagainya adalah pengetahuan pasti. Yang saat kita mengetahui jawabannya, kita bisa menjawab dengan cepat, sementara saat kita tidak mengetahui jawabannya, kita hanya bisa menebak dan menjawab asal saja. Mau mengamati soalnya selama apapun, kita tetap tidak akan tahu jawabannya. Setiap soal soshum, saya mengabiskan waktu rata-rata hanya lima menit persepuluh soalnya, dan menghabiskan lima belas menit lebihnya untuk menunggu giliran soal berikutnya. Waktu menunggu ini, bagi saya, tentunya sangat membosankan.

Keluhan lain yang perlu saya sampaikan, mungkin, adalah tanda pada huruf F dan J di keyboard Yang biasanya digunakan difabel netra saat mengetik yang tidak begitu nampak.

Saya berkali-kali keliru menekan huruf, karena tanda di uruf F dan J Yang sangat-sangat tidak jelas, nyaris tidak ada malah.

Di setiap jeda menunggu soal berikutnya, saya akan membuka ear fone dan mendengarkan keadaan sekitar. Dari sana saya tahu banyak peserta yang dibantu panitia dalam mencentang jawaban yang mereka pilih,  padahal saya merasa komputer yang disediakan sudah sangat akses untuk difabel netra pengguna pembaca layar.

Nabila saat mengerjakan soal Ujian Tulis Berbasis Komputer

Sekitar dua jam kemudian, saya selesai mengerjakan soal-soal yang sebagian besarnya saya tidak jawab dengan benar, lalu menunggu. Zakia masuk lima belas menit kemudian, mengajak saya keluar, dan mengucapkan selamat karena saya sudah berhasil mengikuti tes hari itu. Dalam hati saya tertawa sambil menggumam,

“Kak, jawabannya banyak yang Lala tidak tahu jawab, hiks.”

Tapi,  apapun hasilnya, saya tetap berterima kasih pada diri saya sendiri. Beberapa tahun belakangan, saya jatuh berkali-kali dan beruntungnya banyak orang yang selalu menjulurkan tangan untuk membantu saya bangkit kembali. Orang-orang yang mendengar keluhan saya tanpa menghakimi seperti Zakia, Ishak Salim, Yoga Indar Dewa dan Nur Syarif Ramadhan.

Terima kasih pada tubuh saya yang bersedia malu, sakit, jatuh,   dan dihina selama masa bersekolah di SMA Negeri 11 Makassar. Untuk sekali ini saja, saya ingin bangga ada diri saya yang masih bertahan sampai hari ini.

  • Penulis adalah anggota Divisi Produksi Pengetahuan, Publikasi Informasi dan Komunikasi Yayasan PerDIK

Makassar, 16 April 2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Makassar SULSEL

Anregurutta Aa Gym

Oleh : Aslam Katutu Enam tahun silam baru ketemu lagi dengan beliau. Selama ini saya hanya menyimak kajian-kajian tauhidnya melalui media sosial dan sekaligus mengikuti perkembangan kiprah dakwahnya. Sebagai Gurunda, sebagai sahabat, orang tua bahkan terkadang saya menganggap sebagai kakak, Aa Gym yang kukenal sejak tahun 1996, kini kembali menginjak kakinya sekaligus menyebarkan dakwahnya dan […]

Read more
Artikel Makassar SULSEL

Fahmawati, Sekolah Ramah Anak dan Program Inovasi

Oleh : Rusdin Tompo Sekolah Dasar Negeri Kompleks Sambung Jawa, boleh dikata, salah satu SD yang terdepan dalam komitmen sebagai Sekolah Ramah Anak (SRA) di Kota Makassar. Sekolah di Jalan Baji Gau I Nomor 20 yang biasa disingkat SDN Kosamja itu, pada 17 Oktober 2017, mengadakan “Gerakan 1000 Komitmen Sekolah Ramah Anak”. Deklarasi SRA, kala […]

Read more
Artikel Kalimantan Kuliner

Mengulik Warkop Madju, Warkop Legendaris di Samarinda

Warkop Madju Kota Samarinda kota Tepian (Teduh Rapi, Aman dan nyaman). SAMARINDA, EDELWEISNEWS COM – Kota Samarinda memiliki beberapa warung kopi (warkop) legendaris, satu diantaranya adalah Warkop Madju. Untuk menjawab rasa penasaran saya, begitu menginjakkan kaki di Kota Samarinda, tempat yang pertama jadi sasaran saya adalah pasar pagi,tepatnya Samarinda Kota, Jalan Panglima Batur 7 RT […]

Read more