JAKARTA,EDELWEISNEWS.COM – LORD Didi begitulah sebutan Didi Kempot dari para millennial. Musisi campursari itu bangkit lagi jadi idola anak muda. Sebutan lain baginya adalah the Godfather of Broken Heart, sementara para penggemarnya menamakan diri sebagai Sadbois dan Sadgirl.
Salah satu penggemar garis keras itu adalah Gofar Hilman, penyiar radio Hard Rock FM. Gofar yang punya konten Ngobam (Ngobrol Bareng Musisi) di akun Youtube membuat edisi off-air khusus bagi Didi Kempot di Solo, Minggu (14/7). Acara itu jadi trending yang sekaligus makin meluaskan fenomena Lord Didi.
Fenomena ini tentunya membuat kegembiraan karena menunjukkan optimisme bagi musik-musik Tanah Air di era digital. Di sisi lain, fenomena ini sesungguhnya bukan baru.
Sebelum Didi Kempot, sudah ada Orkes Musik Pengantar Minum Racun (O.M. PMR) yang pernah mencicipi manisnya didatangi pendengar muda. Selain itu ada pula NDX AKA, grup musik hip hop Jawa, hingga Feel Koplo.
Maka kita pun diingatkan jika rentang selera musik millennial begitu luasnya. Dari Rich Brian hingga Didi Kempot bisa digilai. Pertanyaannya kemudian bagaimana musik-musik yang semula dianggap norak itu bisa bangkit menyodok? Alamiahkah atau butuh sentuhan khusus?
Kiki Aulia (Ucup) program director Synchronize Festival, suatu festival musik yang menggabungkan semua genre dan diisi oleh musisi-musisi asal Indonesia, punya pendapat tersendiri. Tahun ini Synchronize memasuki helatan tahun keempatnya. Ucup pernah mengundang raja dangdut Rhoma Irama, lalu kelompok kasidah asal Semarang Nasida Ria, NDX AKA, Feel Koplo, dan Jamrud yang menurutnya menjadi band paling banyak ditonton sepanjang sejarah Synchronize.
Ucup menilai fenomena naiknya Didi Kempot, sosok yang tak terpisahkan dari campursari ini ialah sebab faktor kebosanan atas segala tren yang memuncak. The Godfather of Brokenheart itu jadi alternatif setelah para pendengar musik bosan dengan semua yang sudah mereka rasakan sensasinya.
“Bentuk kebosanan dari kalangan anak ‘gaul.’ Fenomena Feel Koplo sampai Didi ini dikarenakan mereka (pendengar musik) mencari opsi, ada apa nih? Jadi fenomena. Yang gue yakin banyak orang pun enggak tahu lirik dari karya-karyanya. Stasiun Balapan itu wajar, kalau orang udah tahu Cidro atau Parang Tritis itu yang berarti udah dalem banget,” buka Ucup yang ditemui Media Indonesia di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, Senin, (29/7).
Ia melanjutkan, “dengan nonton Didi Kempot, jadi salah satu alasan mereka mencari eksistensi dan ngejar yang lagi hype. Fenomenanya memang lagi dibawa ke sana, apa yang menurut kita keren enggak digandrungi, tetapi apa yang ‘cheesy’, ‘katrok’, yang didengerin. Akhirnya menurut gue tingkat kebosanan dengan sesuatu yang keren memang udah di atas banget. Nah tinggal di-twist-nya aja.”
Ucup mengingat hal serupa terjadi ketika The Upstair atau Club 80’s muncul. Mereka membalikkan anggapan norak busana jadul warna-warni. PMR yang dulu dikenal dari film Warkop DKI juga bangkit karena efek serupa. Anak muda masa kini merasa tertarik dengan segala kontras yang ada di PMR. Orang-orang tua memainkan musik ala orkes, tetapi memakai kaus band-band cadas seperti Seringai, atau Down For Live.
Didi memang sudah punya pangsa pasarnya sendiri, di Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Juga negara di Amerika Latin, Suriname. Namun, ketika ia dibawa ke ‘panggung baru’ yang belum pernah dicoba sebelumnya, menjadi faktor mengapa ia kini muncul menjadi fenomena. Selain itu, tidak kalah penting adalah pengaruh dari para anak muda penggemarnya.
Sebelum Gofar, nyatanya sudah lebih dulu ada anak-anak muda di bawah naungan Rumah Bloger Indonesia. Anak muda yang kebanyakan pegiat lawak tunggal (stand up comedy), dan pengusaha lini baju itu membuat unggahan-unggahan super soal Didi di medsos.
Pada cuitan di Twitter bertanggal 9 Juni 2019, yang juga disematkan video berdurasi 30 detik, milik @trialdinoo, menuliskan,
“Suasana Surakarta sad boy club ketika menonton The God Father of Broken Heart “Didi Kempot” yang dipimpin langsung oleh @jarkiyo.”
Cuitan itu mendapat 4,1 ribu retwit dan 4,4 ribu suka. Dari twit tersebut, lalu diretwit dengan balasan (reply with comment) oleh penulis juga selebtwit Agus Mulyadi lewat akunnya @agusmagelangan pada tanggal yang sama.
“Di dunia ini, tak ada yang bisa menandingi Didi Kempot. Robbie Williams, Frank Sinatra, Nat King Cole, semuanya tak bisa. Sebab Didi Kempot adalah semesta yang lain.” “Dan ya, sebutan “God Father of broken heart” ini kurang tepat, sebab Didi kempot adalah broken heart itu sendiri,” lanjut Agus dalam utas yang ia buat. Dari utas yang Agus buat, mendapat 7,1 ribu retwit dan 5,7 ribu suka. Berbagai keriuhan medsos itu pula yang tampak membuat Didi membuat akun Twitternya pada Juni tahun ini.
Belum lama ini, Didi juga manggung di gelaran Jazz Gunung di Bromo. Ucup menilai jika panggung-panggung musik yang tepat itu ikut berandil dalam kebangkitan sang adik pelawak Mamiek Prakoso itu.
“Enggak akan seperti sekarang ini kalau enggak masuk ke tempat yang tepat. Didi Kempot kan yang dia lakukan stabil banget, dari dulu sampai sekarang gitu-gitu aja. Saat ada orang yang berusaha bawa dia ke tempat baru menjadi hal baru, ‘keren ya ternyata denger dangdut.'”
Bukan Pasar Loyal
Meski demikian, manajer Barasuara dan Danilla Riyadi ini juga menganggap pendengar Didi saat ini bukanlah pasar yang loyal. Sebab Didi Kempot kini bagian dari tren dan gaya hidup yang menunjukkan standar sosial baru. Ketika ada yang lebih baru lagi, kemungkinan ia akan ditinggalkan pendengar mudanya.
“2-3 tahun ke depan akan berubah lagi, saat orang menemukan yang lain. PMR jadi contohnya, mereka yang datang ke gigs bukan fan loyal PMR, mereka yang dateng ya cuma karena happening, ‘gue nonton PMR, keren nih. Karena ‘produk’ Didi Kempotnya yang keren. Lebih karena lifestyle. Seperti musti dateng ke WTF gitu, jadi penanda kelas sosial. ‘Eh lo udah nonton Didi Kempot? Jadi seperti kelas sosial.”
Momentum ini yang perlu ditangkap oleh si musisi, termasuk manajemennya. Agar peluang setelah tren tidak stagnan. Baik untuk membuat karya baru, atau menciptakan benchmark bagi si musisi sebab mereka tengah mendapat lampu sorot.
“Belum ada menurut gue yang bisa bertahan lama. Bahkan Sheila On 7 pun ya naiknya lagi kan lama banget setelah sempat turun. Kemudian ketika orang dipacu nostalgia, jadi trigger. Didi Kempot karena sudah punya pasarnya sendiri ya paling hanya akan bertahan di pasarnya.”
Lalu, siapa yang bertanggung jawab atas keberlanjutan karier musisi setelah dihinggapi tren? Dari faktor eksternal musisi, ekosistem yang sangat berperan ialah manajemen.
“Yang lebih bertanggung jawab tentu manajemen. Penyelenggara festival ya melihat apa yang sedang happening biar bisa gather banyak orang. Rumus festival itu, pertama nyari siapa headliner yang diajak, karena skala besar butuh headliner, kedua apa yang happening, dan ketiga baru main konsep. Penyelenggara festival punya peranan penting untuk sesuatu yang dibikin hype. Selanjutnya yang punya peranan manajemen, label ngikut aja karena patokannya off air sama streaming.”
Ucup mencontohkan Diskopantera, yang menurutnya gagal mengambil momentum. Sehingga kini kalah pamor bila dibandingkan dengan Feel Koplo. Sebab secara penampilan tidak ada penambahan atau pembaruan. Menurut Ucup, jika Didi Kempot bersama anak-anak muda di belakangnya mampu melihat celah dan peluang dalam momentum ketenarannya, bukan tidak mungkin Didi Kempot mampu menciptakan pasar yang loyal. (LI)
Editor : Jesi Heny