
MAKASSAR, EDELWEISNEWS.COM – “Silakan datang meki, Pak.” Begitu pesan singkat yang masuk di nomor WhatsApp saya, Ahad (4 Mei 2025).

Pesan itu dari Irwana, S.Pd, seorang guru PAUD yang juga merupakan Ketua KWT Permata Hijau di Kelurahan Bangkala, Kecamatan Manggala, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan.
Lokasi aktivitas Kelompok Wanita Tani ini, berada dalam lorong, agak taccokko, istilahnya orang Makassar. Namun menghadirkan suasana nyaman bila berada di sana. Boleh dikata, ini semacam hidden garden di pinggiran kota.

Saya pun meluncur ke rumah Bu Irwana, yang merupakan pusat aktivitas KWT Permata Hijau. Alamatnya berada di Jalan Tamangapa Raya III, RT 04/RW 02. Berbatasan dengan tembok salah satu kompleks perumahan.
Sebelumnya, kami sempat mendiskusikan keberlanjutan program inovasi terkait literasi lingkungan di SD Inpres Bangkala 3. Di sekolah ini pernah dikembangkan inovasi PITA SARI, akronim dari Pusat Literasi Tanaman Sehat Berbasis Digital.
“Tabe, kami juga mengundang Pak Kepsek datang ke KWT Permata Hijau untuk berbincang tentang penghijauan di sekolah. Siapa tahu ada inovasi baru lagi supaya kita bisa belajar sama-sama tentang urban farming yang akan dikembangkan Pak Walikota. Mudah-mudahan bisa jadi percontohan,” tulis Bu Irwana di grup WA di mana saya juga ada di situ.
Begitu tiba, saya langsung menuju halaman belakang, melewati tanaman yang ditanam dalam berbagai formasi.
Di pekarangan depan, ada bunga-bungaan yang dibiarkan tumbuh langsung di tanah. Ada pula tanaman yang diletakkan di pot-pot dan polybag. Juga ada yang ditanam secara vertikal dan menempel di dinding rumah.
Selain itu, ada pula tanaman merambat. Salah satunya bunga telang (Clitoria Ternatea), jenis tanaman yang biasa dijadikan minuman herbal yang kaya manfaat.
Di samping rumah, menuju ke belakang, ada pohon markisa, yang tengah berkembang. Bila nanti tumbuh lebat, bisa jadi gerbang hidup, di mana tamu lewat di bawahnya.
Rupanya sudah ada Muh Faisal M, S.Pd, Gr, M.Pd, Plt Kepala UPT SPF SD Inpres Bangkala 3. Saya bersalaman, dengan kepala sekolah yang sebelumnya merupakan guru PJOK di sekolah yang sama itu.
Baru saja duduk, saya sudah dipersilakan makan. Tersaji bermacam menu di atas meja yang diatur memanjang. Minumannya juga menggugah selera. Ada es buah naga dan sirup orange, yang pas untuk meredam cuaca Makassar, siang itu.
Bu Irwana memang mengundang kami datang pukul 12.00 wita. Oo, rupanya undangannya untuk makan siang. Diskusinya cuma pelengkap saja. Hehehe.
Menu siang ini terasa istimewa. Ikan bolu bakar, raca-raca taipa, lawi-lawi, sambal, mentimun, sayur santan, tahu goreng tepung, dan perkedel jagung. Semuanya bagai minta dicicipi.
Makan disini bertambah nyaman karena kombinasi menu, suasana, dan kebersamaan. Kami makan di bawah pohon mangga golek yang tengah berbunga.
Terdapat balai-balai yang bisa digunakan untuk ditempati makan, belajar, maupun sekadar duduk bercengkerama.
Menariknya, pohon mangga ini terkesan tumbang. Sebagian batangnya terendam di kolam yang berisi ikan nila. Namun, ia tetap hidup dan menghadirkan suasana rimbun bagi pemilik lahan dan orang-orang yang datang ke situ.
Kolam ikan yang dikelilingi tumbuhan melati air itu, tepat berada di depan kami. Pada batang pohon mangga yang rebah itu terasa kian estetik karena digantungi beberapa anggrek bulan yang bunganya kontras di antara dedaunan hijau.
“Saya suka suasana di sini karena bisa mendengar orang-orang menggunakan bahasa Makassar,” kata saya kepada Bu Irwana usai makan siang.
Bu Irwana terlihat senang bersantap siang bersama keluarga besarnya. Ada mamanya, bapak, adik, kakak, tante-tante, ipar-ipar dan keponakan-keponakan.
Sumarlin, S.Pd, yang merupakan muadzin di Masjid 99 Kubah, kawasan CPI Pantai Losari ikut ngobrol bersama kami. Dia pernah jadi guru di sebuah sekolah perguruan Islam dan guru TPA.
Menurut cerita Bu Irwana, tempat ini oleh penduduk asli lebih dikenal sebagai Biring Romang. Itu penyebutan nama kampung oleh warga Makassar, asli situ. Lantaran masih banyak pohon lebat, kala itu.
“Sewaktu saya masih anak-anak, saat SD, nama kampung ini masih disebut Biring Romang,” kenang Bu Irwana.
Nanti setelah dikembangkan jadi kelurahan, namanya berubah jadi Bangkala. Sedangkan, nama Biring Romang malah dilekatkan pada kelurahan yang berada di Kompleks UNHAS, Antang.
Saya lalu teringat aplikasi Sirangi Rong, yang terkesan canggih. Ini cara cerdas mengembangkan budidaya pertanian, menggunakan aplikasi sederhana dan relatif murah.
Aplikasi Sirangi Rong ini dibuat oleh Rustam, penyuluh pertanian pada Dinas Perikanan dan Pertanian (DP2) Kota Makassar. Cukup dengan menyebut, “Google, sirangi rong”, maka air akan keluar dari selang-selang yang ditempatkan mengarah ke tanaman.
Aplikasi itu, kata Bu Irwana, masih berfungsi. Digunakan di beberapa tempat, termasuk green house, untuk menyiram bibit. Hanya saja, green house, bagian rangnya rusak, salah satunya akibat banjir.
Banjir juga membawa kabur ikan-ikan nila yang tengah dikembangkan, kata Bu Irwana. Padahal sudah dipasang keramba, tapi tetap saja tak bisa menyelamatkan ikan-ikan itu.
Mata saya lalu mengarah pada beberapa anak yang tengah berada di dekat kolam. Seorang anak yang memegang alat pancing, terdengar berteriak: “mancing mania, mantap!” Tampaknya dia meniru slogan salah satu acara memancing di stasiun TV swasta.
Bu Irwana menyampaikan, lokasi KWT Permata Hijau ini, bukan termasuk lorong wisata (longwis), dalam daftar Pemkot Makassar. Walau sejatinya layak sebagai lorong wisata.
Selain KWT, Bu Irwana dan teman-temannya mendirikan UMKM KWB SERUNI. Di sebut Kelompok Wirausaha Bersama Seruni, sesuai produk yang mereka hasilkan, yakni kue seruni.
KWT ini, kata dia, pernah menanam beragam tanaman, baik untuk konsumsi sendiri, dijual, maupun untuk berbagi. Bahkan sejumlah tanaman tumbuh subur dan terpelihara baik.
Ketika saya tanya, apa saja tanaman yang pernah ditanam atau yang sekarang masih ada? Bu Irwana lantas menyebut nama-nama tanaman yang mengelilingi halaman rumahnya, mulai depan, samping, hingga belakang.
KWT ini, antara lain menanam bayam, pakcoy, sawi, cabe, tomat, terong, mentimun, kacang panjang, oyong, cabe, termasuk katokkon, yang terkenal pedas itu.
Di lahannya juga tumbuh lengkeng, sawo, jeruk, durian, dan rambutan yang sudah dua kali panen. Ada pula pisang goroho, yang tunasnya sudah diberikan ke orang lain.
Begitupun dengan pohon pandan, yang dimanfaatkan oleh warga setempat setiap kali menjelang lebaran. Daun pandan itu untuk dibuat jadi ketupat.
“Sekarang ini kami banyak menanam tanaman hias, antara lain, kembang kertas,” tambah Bu Irwana.
Rencana ke depan, dia akan memelihara ikan lele dengan memanfaaatkan got yang mengalir di antara tembok komplek perumahan dan lahannya.
Dia terinspirasi dari orang-orang yang bisa memaksimalkan lahannya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan sehari-hari mereka, atau keperluan literasi lingkungan. (*)